Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Karya Sastra Sejati

26 Agustus 2014   06:05 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:33 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14089825551825302656

Oleh Anjrah Lelono Broto *)

Masih hangat di telinga kita ketika seorang fungsionaris parpol tertentu melansir puisi tentang lawan politiknya. Puisinya kurang mendapatkan tanggapan serius dari yang bersangkutan, justru para simpatisannya membalas dengan beberapa judul puisi. Fenomena seperti ini bisa jadi pemandangan tak lazim bagi politisi di tanah air, namun sejatinya tipis batas antara sejarah berikut pelaku-pelaku yang terpahat di dalamnya dengan karya-karya sastra. Jacob Soemardjo (1997) menyatakan bahwa sejak manusia mengenal bahasa ternyata mmanusia telah “menyukai” sastra. Rasa suka ini pula yang membuat kehidupan lantas menjadi berwarna. Tangga dramatik kehidupan menjadi inspirasi karya sastra, begitu pula sebaliknya.

Ketika Diderot menyebut,“Sejarah yang sejati pun, penuh dengan kepalsuan, tetapi sastra penuh dengan kebenaran” tak perlulah kita maknai bahwa karya sastra kita maknai sebagai buku putih. Terlebih, apabila dalam konteks perang puisi beraroma politis di atas. Karya sastra yang sejati adalah karya yang sanggup memberikan hiburan dan kebenaran itu. Sastra yang sejati adalah dokumen bagi kemanusiaan. Ia tidak memahat catatan sejarah secara detail per peristiwa, namun bersama sejarah ia berkisah tentang manusia dengan harapannya, penderitaannya, juga gagasan-gagasannya memandang dunia.

Spirit ini pula yang menjadi energi Ignas Kleden (2004) untuk mendedahkan bahwa karya sastra senantiasa mengabarkan kepada penikmatnya untuk berkontemplasi. Tujuannya, agar orang di era ini tidak melakukan hal-hal kurang baik yang pernah dilakukan orang-orang di era sebelumnya. Karya sastra tidak menempatkan kapan peristiwa atau konteks peristiwa itu terjadi sebagai fokus utama, justru pelajaran di balik peristiwa tersebutlah yang lebih menarik untuk disimak-disampaikan.

Baris-baris kata dalam karya sastra bukan sekedar medium tetapi adalah message. Mungkin di sinilah kita dapat membedakan antara bahasa seorang ilmuwan, ahli hukum, wartawan, atau seorang penyiar televisi dengan bahasa sastrawan. Idealnya, sastrawan adalah sekelompok orang yang memproduksikan makna kata-kata, sedangkan pengguna bahasa lainnya hanya mereproduksikannya. Dalam hal ini, rasa sastrawan bertengger di atas rasionalitas manusia pada umumnya. Mereka membaca derap langkah manusia dan kehidupan dengan sense of self dan sense of life yang diberikan Tuhan kepadanya.

Lebih mendalam dari pernyataan Diderot di atas, bahkan sebenarnya karya sastra mampu menampakkan sejarah -yang sangat mungkin kebenarannya dibelokkan karena adanya kepentingan kekuasaan- dengan lebih hidup. Hal ini merujuk pada kuantitas peraih Nobel Sastra yang menempatkan “sejarah” sebagai tema karya-karya masterpiece-nya. Banyak di antara mereka yang merupakan para sastrawan pejuang penegakan hak-hak sosial dan kemanusiaan publik. Karya-karya mereka banyak yang bertema genosida, marjinalisasi komunitas tertentu, anti tiran, dan atau perjuangan kelas.

Di antaranya adalah John Galsworthy (1867–1933), peraih Nobel Sastra 1932. Selain karena drama-dramanya memiliki tangga dramaturgi yang apik, acap kali pula dia mengambil tema penderitaan komunitas tertentu dalam publik. Sebagaimana Silver Box (1906), Strife (1909), Justice (1910), dan The Mob (1914). Dramanya yang mengangkat peri kehidupan narapidana dalam penjara di Inggris berjudul Justice (1910) mendapatkan reaksi luar biasa dari pemerintah kala itu. Mulai dari pelarangan pemanggungan hingga diikuti dengan evaluasi-perubahan pengelolaan penjara di Inggris secara bertahap.Pada bagian ini, sastrawan, karya sastra, dan penikmatnya melakukan komunikasi dua arah karena ketersampaian message.

Begitu pula dengan Nadine Gordimer, novelis dan cerpenis kelahiran Springs Afrika Selatan. Ia juga ikut menambah daftar panjang penerima Nobel Sastra yang mengangkat tema perjuangan persamaan hak-hak manusia. Peraih Nobel Sastra 1991 dan putri pasangan Yahudi ini, memiliki karya-karya yang selalu berisi tentang ketegangan antara kulit putih dan kulit hitam. Novel-novelnya seperti A World of Strangers (1958), Occasion for Loving (1963), dan The Late Bourgeois World (1966) berkutat pada tema-tema ketegangan warna kulit tersebut. Novelnya The Conservationist (1974) yang berkisah tentang eksploitasi kulit putih atas pekerja kulit hitamnya demi keuntungan pribadi memenangkan Booker Prize, sebuah penghargaan sastra paling bergengsi di Inggris pada 1974.

Meskipun ‘belum’ menerima penghargaan nobel sastra, Indonesia patut berbangga hati memiliki sastrawan seperti Wiji Thukul. Ia menyulap karya sastranya tidak hanya sebagai kumpulan kata berestetika tinggi namun juga mengangkat tema-tema marjinalisasi komunitas tertentu, anti tiran, dan atau perjuangan kelas. Penggalan sajak “Peringatan”nya yang ditulis pada tahun 1986 berikut: // Bila rakyat tidak berani mengeluh / Itu artinya sudah gawat / Dan bila omongan penguasa / Tidak boleh dibantah / Kebenaran pasti terancam //menjadi petanda bahwa tengah ada perjuangan anti tiran di dalamnya. Walau perjuangannya harus bermuara pada penghilangan dirinya hingga kini, karya sastranya masih menginspirasi penikmatnya untuk berkontemplasi, mengambil pilihan, dan atau menentukan langkah ke depan.

Besar kemungkinan, bagi Wiji Thukul dipenjara, diasingkan, atau dihilangkan, bukan sesuatu yang harus ditakutkan. Itu semua adalah investasi proses berkesenian dan berkebudayaannya. Sastrawan yang bijak mengatakan kepada duniabahwa masih ada dan banyak “kejahatan” kemanusiaan yang terjadi di sekitar kita. Sastrawan yang demikian merupakan empu dari karya-karya sastra sejati, di mana di dalamnya ada elemen hiburan dan kebenaran teramu bernas untuk mengajak berkontemplasi penikmatnya.

Tetapi, ketika karya sastra menjadi alat untuk meraih dan memelihara kekuasaan, sebagaimana yang tergambar pada paragraf pertama tulisan ini, di sinilah kesejatiannya telah di”aman”kan. Sesungguhnya, karya sastra yang membawa pesan untuk meraih simpati demi teraihnya kursi kekuasaan bukanlah karya sastra sejati. Di dalamnya ada hasrat machievelian yang perlahan tapi pasti menghilangkan elemen hiburan maupun kebenaran yang seharusnya bersemayam dalam karya sastra sejati.

Mari membaca-menulis karya sastra sejati.

*****************

Catatan:

Dimuat di rubrik Apresiasi Sastra Harian Lampung Post edisi 03 Agustus 2014


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun