[caption id="attachment_290847" align="alignnone" width="567" caption="Mardani Ali Sera, Anggota DPR Fraksi PKS di KJRI Sydney."][/caption]
Artikel ini merupakan lanjutan dari: Komisi I DPR Kunker ke Australia, Apa Saja Kerjanya?
(5/11/2013) Kader PKS selama ini dikenal memiliki pandangan konservatif mengenai isu SARA dan kritis terhadap Pemprov DKI yang dipimpin Gubernur Joko Widodo dan Wakil Gubernur Basuki T. Purnama. Namun Mardani Ali Sera, anggota Komisi I Fraksi Partai Keadilan Sejahtera memiliki pendapat berbeda ketika ditemui penulis dalam acarapertemuan Indonesian Diaspora Network dan Komisi I DPR di KJRI Sydney.
“Kalau bagi saya sistem meritokrasi itu yang terbaik, Ketika Pak Jokowi-Ahok milih bu Susan, bukan org Islam di Lenteng Agung. Saya bilang, kalau dia punya kapasitas Why Not? Siapapun layak dicalonkan regardless race, religion atau apa. Kapasitas jelas yang utama. Makanya ada kaedah fiqih, menjadi bodoh dan lemah itu sama….. tidak boleh kita jadi bodoh dan lemah,” tuturnya.
Adapun, sistem meritokrasi adalah sistem pemerintahan dimana kekuasaan diberikan dan didasarkan pada intelektualitas dan kapasitas ketimbang suku, agama dan ras. Mardani merasa bahwa sudah saatnya bangsa Indonesia keluar dari budaya pengkotak-kotakan bila ingin menunjukkan dirinya sebagai bangsa majemuk dan multikultural. Dalam beberapa kasus, Mardani menyebutkan justru “pemimpin putra daerah” yang menghambat kemajuan suatu wilayah.
“Contoh Papua, susah orang Jawa jadi Gubernur disana. Mereka selalu maunya putra daerah. Padahal dalam banyak kasus, putra daerah itulah yang menghambat pembangunan. Mungkin juga ada masalah integritas dan macam-macemnya. Jadi kita tidak semakin mengIndonesia, tapi semakin mengkotak-kotak.”
Mendengar komentar nasionalistik Mardani, Max Sopacua dari Fraksi Demokrat berkelakar bahwa Mardani adalah pria PKS yang cenderung memiliki ideologi seperti Demokrat ketimbang partainya sendiri.
“Pak Mardani ini orang PKS tapi hatinya Demokrat....lihat saja, biasa orang PKS kan pelihara jenggot, tapi pak Mardani ini tidak,” ucap Max yang disambut gelak tawa hadirin.
Ucapan Mardani ini berbeda dengan pendapat caleg PKS, Mustofa B Nahrawardaya dalam acara debat di TV One. Mustofa menyarankan Jokowi untuk tidak memaksa pluralisme dengan berkompromi bersama suara mayoritas tanpa perlu memperhitungkan hal teknis seperti kapasitas dan kemampuan administrasi sang lurah.
“Jika warga Lenteng merasa tidak cocok dengan lurahnya, apa susahnya menggantinya. Ibarat mur yang tidak cocok dengan bautnya. Sebaiknya Lurah Susan itu dipindahkan saja ke Pluit. Kan gampang saja. Kalau orang Pluit juga menolak, berarti yang masalah lurahnya. Saya kira jangan ada pemaksaan, ini namanya intoleran. Pluralisme tidak boleh dipaksakan. Ini berbahaya.” (AH/Kompasiana)
Komentar Mustofa dapat ditemui dalam artikel ini: “Pak Jokowi Jangan Paksa Pluralisme di Lenteng Agung.” Anda Mungkin Tertarik Membaca: 1. Israel Palestina 1948 FAQ 2. Indahnya Kuningan di Negeri Kangguru 3. Kontroversi Hak Paten Allah, Ketika Muslim Tak Terlatih Hadapi Persamaan 4. Julius Firdaus: Pria Indonesia Yang Mengejutkan Juri Australia's Got Talent 5. Ahok: Kalau Mereka Melawan, Bunuh Saja!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H