[caption id="" align="alignnone" width="620" caption="Unapologetic Tears from Our Legendary Dangdut King, Sumber: Kompas.com"][/caption]
17 Agustus ini bangsa Indonesia kembali merayakan pesta ulang tahun ke-67-nya sebagai sebuah negara besar. Kita tahu, perkembangan ekonomi semakin membaik dan jumlah populasinya yang semakin membludak. Bagaimana secara ideologi? Apakah semakin Pancasila?
Hanya sekitar awal bulan ini, kita mendengar salah satu legenda kondang dangdut kita mengajak umat-umatnya untuk hanya memilih pemimpin yang seiman dengan mereka. "I love them all. Tapi tetap dalam konteks memilih pemimpin, saya harus menyampaikan perintah Allah. Saya juga mohon pengertian umat non-muslim," ujar Rhoma Irama dalam Kompas.
"Ya, barangkali Ahok juga mengatakan kepada umatnya harus memilih China atau Kristen. So what? Itu sah saja. Itu bukan SARA,” lanjutnya.
Bila ditanya apakah ini kampanye negatif SARA? Akan ada pro dan kontra. Rhoma Irama mungkin hanya satu yang “tidak beruntung” dari sekian pemuka agama yang juga berceramah hal yang sama. Apakah ada pemuka agama non-Muslim yang berceramah seperti bung Rhoma? Kemungkinan itu pasti ada juga.
Tapi apakah kampanye ini edukatif? Absolute NO! Memilih pemimpin jelas harus berdasarkan kualitas hidup ketimbang apa yang ia yakini. Namun easier said than done, karena akar permasalahan SARA yang terjadi di Indonesia ada disini. Kita selama ini sering mendapat pengajaran,”Nothing better comes from other groups.” Atau intinya, orang diluar golongan kita tidak mungkin mampu memiliki kapasitas lebih baik dibanding kami. Akibatnya ketika kalah dalam kompetisi berbagai hal, kita cenderung menyalahkan orang lain. Suap lah, korupsi lah…. Ketika kita menutup mata, kita akan menyangkal semua hal baik yang datang dari luar.
Memilih pemimpin “yang penting seiman” seperti berkata “It’s ok, he may be corrupted, dodgy, manipulative…but he shares what we believe and it’s more than enough,” atau “Ah gapapa, korupsi dikit…yang lain juga banyak kok yang kayak gitu…yang penting jangan kafir lah.” Mau di gereja, vihara ataupun synagogue, pengajaran seperti ini jelas harus dikecam. Where is our standard in measuring leadership? We have to raise the bar. Something better also can come from outside! If only we are not comforted too much in our own personal realm…
Entah kenapa ini menimbulkan suatu pertanyaan: Apakah Pancasila selama ini dapat bergerak sejalan dengan agama-agama yang ada di Indonesia? Memilih pemimpin “seiman dan ber-Tuhan” tapi tidak memiliki kualitas hidup yang baik seperti mengamalkan Sila 1 tapi mengabaikan Sila 2 hingga 5. Apakah standar tinggi Pancasila diturunkan (atau bahkan dinodai) oleh eksistensi keagamaan? Bolehkah kualitas hidup nyata dikorbankan oleh kepentingan golongan dan mimpi birahi spiritual personal umat tertentu? I’m not bold enough to answer this. Let the readers become the judges.
Martin Luther King Jr dengan speech terkenalnya “I Have a Dream” pernah berkata, “I have a dream, that my four little children will one day live in a nation where they will not be judged by the color of their skin but by the content of their character.” Kalau dulu Martin Luther berjuang melawan rasisme warna kulit, bangsa kita sedang melawan rasisme keagamaan. Biar ini jadi momen perenungan dan mimpi kita. Supaya suatu saat nanti kita tidak di-judge berdasarkan agama yang tertulis di KTP, melainkan “our content of character.” Bukan dari apa yang kita imani melainkan dari aplikasi bukti apa yang kita imani.
Note: ini link dakwah Rhoma Iramaa bagi yang belum sempat lihat http://www.youtube.com/watch?v=qpcyvxQi-DU&feature=youtu.be
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H