[caption id="" align="alignnone" width="320" caption="Indonesia Lawyers Club"][/caption]
Selasa lalu, ILC (Indonesia Lawyers Club) kembali tampil dengan topik “greget” bertema “Kawin Siri: Sah atau Tidak?” Apalagi kalau tidak sedang membahas kasus yang sedang marak menimpa Bupati Garut, Aceng Fikri. Berbagai narasumber tampil mulai dari Ali Mustafa Yaqub (Imam Besar Istiqal), Pengacara Aceng Fikri, aktris Ayu Azhari, Amidhan (Ketua MUI) pakar psikolog dan beberapa narasumber penting lainnya. Ada beberapa poin yang mungkin kita sebut panas dan kontroversial bagi mereka yang menonton acaranya langsung.
Ali Mustafa Yaqub saat itu berpendapat kawin siri marak terjadi lantaran poligami dipersulit oleh hukum negara. “Mengapa terjadi siri, karena poligami dipersulit. Mengapa (poligami) harus minta ijin istri? Itu kan dipersulit. Mana ada perempuan yang mau menerima?”
Saat itu Ali Mustafa tengah berdebat dengan Karni Ilyas mengenai UU perkawinan 1974. Disitu (ayat 2) disebutkan bahwa pernikahan harus dicatat oleh negara. Ali Mustafa rupanya punya tafsiran lain. Ia menyebut bahwa kata “harus” berasal dari bahasa Indonesia, dan yang juga merupakan akar dari bahasa Melayu dimana kata “harus” tidak sama dengan kata “wajib.”
Singkat kata, Menurut Ali Mustafa, sebenarnya asal pernikahan sesuai dengan hukum agama dan Negara hanya memberi proteksi tanpa turut campur urusan formalitas administrasi, itu sudah cukup.
“Rasullulah juga dulu kawin siri semuanya,” tutur Ali Mustafa.
Ketua MUI Amidhan berpendapat bahwa UU Perkawinan 1974 (yang awalnya monogami) didesak untuk memberi peluang poligami melalui “push” dari kalangan Islam dengan alasan bahwa banyaknya kasus cerai dan pernikahan diri saat itu. Pendek kata poligami dijadikan solusi untuk mengatasi kasus-kasus perceraian.
Tak hanya itu, Amidhan berkata bahwa esensi pernikahan itu adalah orientasi fertilitas keturunan dan sesuai dengan agama.
“Kalau suami misalkan melaporkan bahwa istri ada cacat tetap tidak bisa melayani suami, atau tidak bisa punya anak...itu bisa ijin pengadilan, tidak ada masalah. Sangat fleksibel itu(Islam). Tidak melanggar ketentuan agama bahwa poligami itu boleh.”
Kepentingan Agama vs Ketahanan Bangsa
Ketua MUI sebelumnya sempat memberi peringatan pada Karni Ilyas agar jangan membenturkan hukum agama dan hukum negara. (Mengenai Soal UU Perkawinan) Pada kenyataannya tidak bisa dipungkiri bahwa kasus kawin siri adalah potongan puzzle kecil dari bersinggungannya hukum agama dengan hukum negara.
Saya pribadi tidak setuju dengan judul tema: “Kawin Siri: Sah atau tidak.” Bicara Sah atau tidak itu adalah soal opini. Namun yang lebih complicated karena opini tersebut ada back-up agamanya. Kalau ada yang menentang ajaran poligami dan kawin siri, ini sama saja menentang kehadiran agama yang melakukan praktik tersebut.
Mengapa bisa ada poligami? Mengapa bisa ada kawin siri? Bagi saya ini adalah contoh dimana manusia berusaha mengejar nafsunya dengan mencari celah-celah diantara peraturan agama yang ketat. “Bagaimana sih bisa memenuhi kebutuhan seksual tanpa berdosa?” Poligami “resmi” tidak bisa...akhirnya lewat kawin siri. Lha kan yang penting sah sesuai agama? Itulah alasan yang dipakai selama ini.
Sampai sekarang, saya masih tidak percaya dengan apa yang saya dengar dari Imam Ali Mustafa. “Ngapain musti minta ijin istri?” Kan sesuai ajaran agama?” Kira-kira seperti itu. Padahal secara Undang-Undang, baik suami maupun istri memiliki hak yang equal dan terlindungi. Menyetujui ucapan Imam Besar sama saja dengan menjadikan wanita warga kelas dua di negara ini. Bagaimana hal tersebut tidak clash antara kepentingan agama dan hukum negara?
Apalagi sampai berdebat kata soal “wajib” dan “harus.” Karni Ilyas sampai harus mengingatkan bahwa ayat dan kata-kata yang terjabar disana ada untuk suatu alasan. Kalau tidak harus buat apa ditulis?
Belum lagi dengan ucapan ketua MUI yang seolah wanita tidak lebih dari objek seksual dan hilang nilai “nikahnya” karena tidak mampu memenuhi kebutuhan pribadi suami. Dengan statement seperti ini, kita tidak butuh orang non-Muslim untuk melakukan black-campaign atas agama Islam.
Keluarga itu adalah intitusi tertua sekaligus terkecil didunia yang dapat hanya beranggotakan dua orang saja. Beranak cucu itu memang penting, tapi yang terpenting adalah kualitas kehidupan kedua pasangan yang lebih baik. Adanya saling melengkapi satu-sama lain melalui komitmen dan sumbangsihnya pada masyarakat.
Saya tahu banyak konselor suami/istri yang memberikan konseling dan membantu pasangan suami/istri yang mengalami badai rumah tangga. Pernikahan tidak hanya sekadar pemuas kebutuhan pribadi melainkan kesempatan untuk saling melengkapi, belajar karakter pasangan, meningkatnya kualitas hidup orang tersebut serta memberi sumbangsih pada masyarakat ataupun pasangan-pasangan lain.
Ada sebutan Behind a great man, there is a great woman. Great man tersebut sering diasosikan dengan pria yang sukses secara finansial ataupun tokoh yang dihormati. Saya percaya bahwa kehebatan sang pria ini tidak ada hubungannya dengan kemampuan seksual sang wanita.
Keluarga adalah sosok fondasi ketahanan bangsa paling kecil dan pusat dalam negara. Bila di core pusatnya memiliki pandangan family value yang salah. Bagaimana bisa terbentuk karakter manusia yang berkualitas?
Zinah Yang Teregulasi
Lalu apakah saya menyebut seks tidak penting? Itu adalah hal yang naif. Namun ini adalah resiko setiap hubungan. Orang-orang tidak beragama mempunyai solusi kumpul kebo. Ada juga istilah “test drive”. Test drive jadi dimana sebelum memiliki hubungan resmi, sang pria dapat “mencoba” pasangan layaknya mobil. Kalau tidak puas, bisa dibatalkan sebelum serius.
Nah apa yg terjadi dengan kalangan yang mengaku beragama di Indonesia sebenarnya tidak beda. Namun demi menghindari “dosa zinah” mereka legalisasikan dulu dalam hubungan “pernikahan agama yang sah” dan “test drive”-nya dilakukan setelah itu. Jadi ini masalah before after saja. Orang beragama melakukan before. Acengyang mengaku agamis memutuskan hubungan setelah menyadari Fani tidak perawan after. Ini menunujukkan bahwa niat baik dan jahat tidak ada seorangpun (dan agama manapun) yang sanggup meregulasi.
Farhat Abbas sebagai narasumber berusaha menelanjangi realita poligami dan kawin siri. “Dalam Al-Quran, hanya laki-laki yang mampu bisa menikah dua atau tiga, kalau menurut versi saya terbalik. Hanya wanita yang mampu. Wanita yang mampu menerima ketidak adilan untuk menjadi istri kedua atau ketiga.”
Keadilan di dunia ini tidak pernah adil bagaimanapun. Siapakah yang mampu mengukur tingkat keadilan seseorang? Apakah karena seseorang merasa dirinya adil, maka orang tersebut memang benar-benar adil? Apa bedanya dengan “test drive” yang saya sebut tadi? Ada yang bilang poligami/kawin sirih lebih baik dibanding free sex. Bagi saya keduanya sama saja. Yang beda, yang satu dibungkus agama biar terlihat lebih baik Benar seperti yang disebut pakar psikolog, Zoya Amirin bahwa niat dan perilaku bisa tidak sejalan.
“Pada dasarnya sikap,niat seseorang tidak dapat menentukan perilaku seseorang. Oh saya tidak mau korupsi...tapi apakah perilakunya tidak korupsi, belum tentu itu,” ujarnya.
Zoya juga menyanyangkan penggunaan agama yang “dipaksa” untuk menjadi solusi semua bidang yang tidak semestinya. “Apakah langkah yang dipakai beliau (Aceng Fikri) untuk memenuhi kebutuhan seksualnya dengan menikah atau apapun itu menjadi solusi? Atau seperti kebanyakan orang Indonesia tidak menyelesaikan masalah secara appropriate. Masalah sosial diselesaikan secara agama. Masalah hukum secara agama. Masalah seksual secara agama. Ini terjadi salah kaprah.”
Suatu perenungan bagi kita. Aceng memenuhi semua syarat keagamaan yang ada. Bahkan mencari wanitanya di pesantren. Kurang apa lagi? Cuma kurang satu saja. Kurang ajar saja mentalitasnya dari awal. Sistem agama tidak akan mampu meluputkan kita dari dosa, bila kita sendiri masih memiliki mentalitas dosa tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H