Sejak kasus di JIS, dengan ajaib tiba-tiba satu-persatu kasus pedofilia mulai mencuat secara nasional. Mulai dari pelaku yang menyaru sebagai dokter abal-abal yang meminta foto telanjang anak melalui media sosial di Surabaya hingga kasus terakhir di Sukabumi yang menelan 100 korban anak.
Kasus pencabulan terhadap anak tentunya bukan barang baru. Bisa jadi ini merupakan makanan sehari-hari di koran-koran bermazhab kriminal seperti Poskota, Lampu Merah Lampu Hijau dan Lampu kelap-kelip lainnya.
Minggu ini, Metro TV membahas topik pedofilia tersebut di program Suara Anda, Rabu lalu. Karni Ilyas bahkan membuat semacam “episode kedua” di ILC Selasa ini....setelah sebelumnya mengangkat kasus di JIS. Apa yang membuat kasus JIS membuka mata opini publik dan media-media nasional?
Ada “segi positif” dari kejadian kasus pedofilia di JIS. Sudah terbentuk gambaran bahwa sekolah internasional dianggap “safe haven” dengan standar yang jauh lebih tinggi dibandingkan sekolah swasta...apalagi sekolah pemerintah. Opini yang terbangun selama ini memiliki peran vital dalam meningkatkan nilai berita kasus JIS. Bila sekolah intenasional di Indonesia saja bobrok kualitasnya lalu kemanakah anak-anak kita harus disekolahkan? Paranoia seperti ini mungkin lebih besar dampaknya di kalangan ekspatriat.
Andaikata terjadinya di sekolah-sekolah berstandar “lokal”, sudah seperti ada semacam pemakluman sehingga kasus-kasus serupa tidak ada yang bisa menciptakan kesadaran nasional. Dan uniknya baru setelah kejadian di JIS, berbagai kasus pelecehan seksual di sekolah-sekolah negeri mulai diangkat.
Untung pula tidak terjadi di pesantren. Isu agama seringkali juga mempersulit pemeriksaan karena korbanterkadang sudah tersandera relasi hubungan otoritas spiritualisme dengan si pelaku. Aneh, berbagai kasus sodomi dan pelecehan seksual terhadap santri juga bukan barang baru....tapi tidak pernah mendapat perhatian dan publikasi serupa seperti kejadian pertama di sekolah internasional.
Sisi positif lainnya adalah latar belakang keluarga korban. Mereka yang mampu menyekolahkan anaknya di sekolah internasional diperkirakan memiliki kemapanan finansial dan latar belakang intelektual yang baik.
Ketika keluarga korban sempat merasakan ada sesuatu yang janggal, mereka mampu mengambil inisiatif untuk melakukan pemeriksaan fisik terhadap anaknya. Bahkan ketika pihak sekolah tidak tanggap, mereka mampu bermanuver dengan mengambil jalur hukum, menyewa pengacara dan terakhir meraih opini publik yang besar.
Bagaimana bila hal ini terjadi di kalangan masyarakat menengah kebawah serta memiliki intelektualitas yang rendah? Mereka belum tentu punya kemampuan finansial untuk visum ini dan itu. Apalagi sampai menyewa pengacara. Dan yang lebih vital, golongan ini terkadang tidak tahu kemana mereka harus melapor.
Kisah pilu ini terjadi pada murid sekolah SDN 06 Pondok Rangon Cipayung baru-baru ini yang dilecehkan oknum guru di tolet yang tidak terpakai. Saat disarankan untuk melakukan visum di sebuah klinik, ibu korban yang hanya bekerja sebagai buruh cuci bingung karena tak punya cukup biaya untuk visum. Beruntung, ia punya kenalan polisi yang membawa sang anak ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak.
Bagaimana reaksi SDN 06 Pondok Rangon? Pihak sekolah malah meminta supaya ibu korban tidak melapor ke polisi dan terkesan melindungi pelaku. Mau sekolah internasional ataupun sekolah negeri...rupanya mereka hanya khawatir dengan nilai prestigius sekolah masing-masing. Menyedihkan.
Lalu apakah selama ini polisi sudah bekerja dengan baik? Ironisnya ada kasus tertentu dimana penegak hukum justru bertindak sebagai mediator dengan mengawinkan pelaku dan korban. Pada kasus JIS, polisi seolah melakukan pembiaran terhadap perubahan TKP.
Apakah benar istilah No Money...No Justice...??? Rasa takut bukan satu-satunya musuh korban pelecehan seksual.
Sibuk Berantem Ketimbang Cari Solusi
Entah harus bersyukur atau bagaimana. Tanpa kasus JIS, mungkin baru kali ini kita melihat baik jajaran pemerintah maupun DPR mulai sibuk pamer diri di berbagai program TV dengan berbagai komentar prihatin, iklan self-achievement terselubung dan bermacam-macam wacana solusi.
“Tahu nggak bapak-bapak...ibu-ibu....sebelum kasus JIS saya sudah blusukan masuk kolong jembatan...kolong selokan...dan bla...bla...bla.”
“Iya sudah saya bawa ke Panja...tapi pemerintahnya itu menghalangi kami.”
Sedangkan pemerintah cuma bilang....
“Nih semua solusi sudah ada masing-masing bukunya...ini sudah disediakan di Puskemas-Puskesmas...bagaimana untuk bla...bla...bla....cuma implementasinya kurang."
PREEEETTTTT...PREEETTTTTT SEMUANYA....(Bagi yang menonton ILC Selasa lalu mengerti apa yang saya bicarakan)
Heran, ketika negara-negara lain sudah memiliki berbagai solusi seperti hukum kebiri dengan suntik dan sebagainya. Politisi-politisi kita masih sibuk berdebat. Ketika negara lain sudah bisa membedakan antara pembelaan antara HAM korban dan HAM pelaku, Komnas HAM negara ini masih bingung membedakan hal ini.
Seriously...dalam sejarah umat manusia...hukuman mati sudah menjadi bagian dari sistem legal umat manusia dari masa ke masa. Dan sekarang tiba-tiba ada solusi cuma mematikan libido ketimbang nyawa pelaku....masih ditolak?
Belum ditambah lagi dengan misinterpretasi pendidikan seks oleh ulama-ulama kolot yang mengartikannya sebagai pornografi.Alhasil semua golongan sibuk saling menyulitkan tanpa solusi jelas.
Anda Mungkin Tertarik Baca:
1. Janji Cak Imin Terhadap Ahmad Dhani
3. Semoga Crimea Tidak Jadi Papua Ke-2
4. Jusuf Kalla: Agama Kristen Ada 300 Aliran, Islam Cuma Satu. Kurang Toleran Apa Kita?
5. Belajar Dari Macau, Tak Selamanya Nasionalisasi Jadi Solusi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H