[caption id="" align="aligncenter" width="586" caption="Ratu Atut, Sumber: Kompas.com"][/caption]
Masih teringat di benak penulis tatkala meliput seorang anggota dewanfraksi PPP, Okky Asokawati di KJRI Sydney. Saat itu beliau sempat mengutarakan dua fakta unik mengenai wanita dan politik Indonesia. (Link wawancara penulis dengan beliau klik disini)
Pertama UU Pemilu mengharuskan Partai menyediakan minimal 30% persentase jatah caleg untuk wanita. Kedua, mencari caleg wanita di Indonesia itu bukan hal mudah. Bahkan ibu Okky menyebut total anggota legislatif wanita di DPR, hanya sekitar 18%. Ini juga tidak dapat memenuhi quota minimum anggota legislatif wanita yang harusnya 30% juga.
Beralih ke tema hari ibu dan tentunya sangat pas berbicara mengenai peran wanita terutama di bidang politik. Kebanyakan wanita yang aktif dalam politik biasanya juga sudah berkeluarga dan menjadi ibu.
Kenyataannya akhir-akhir ini, wanita yang berkarir dalam politik menghadapi dua buah krisis. Yang pertama, dan sangat jelas adalah krisis kuantitas, seperti yang dijelaskan oleh ibu Okky. Yang kedua seperti kita lihat akhir-akhir ini adalah krisis kualitas.
Dalam urusan pidana korupsi, kejahatan tidak mengenal gender. Siapa yang menyangka bahwa sebuah “dinasti Banten” yang kokoh selama 8 tahun berpusat pada seorang wanita? Siapa pula yang mengira, sang juara Miss Indonesia 2001, yang berpenampilan menarik serta teruji intelektualitasnya, kini menikmati pidana 12 tahun penjara, belum termasuk penyitaan aset kekayaannya. Wanita pun tidak kalah gahar dengan rekan politisi lawan jenisnya dalam soal korupsi.
Feminisme Dipolitisasi?
[caption id="" align="aligncenter" width="566" caption="Megawati Soekarnoputri, Sumber: Kompas.com"]
Mempertanyakan kualitas wanita dalam partisipasi politik harus diakui merupakan topik sensitif. Selama ini penulis melihat ada satu kesalahan fatal dalam mempromosikan wanita sebagai pemimpin atau berkarir politik. Wanita selalu digambarkan sebagai figur yang seolah “sengaja” ditekan pria supaya tidak bisa aktif berpolitik.
Jargon-jargon feminisme seperti ini yang menjadi salah satu andalan mantan Presiden Megawati untuk meraih simpati masyarakat, dan sempat terbukti sukses ketika beliau berkuasa pada tahun 2001. Dan hingga sekarang masih digunakan. Megawati baru-baru ini memberikan contoh bagaimana wanita gagal berpolitik karena larangan suami.
Enggak bisa bu, saya sebenarnya kepengin, tapi enggak boleh sama suami saya," ujar Megawati menirukan para perempuan yang mengadu kepadanya, saat pidato peringatan hari Ibu di GOR Otista, Jakarta pada hari Minggu (22/12/2013), seperti dilansir Kompas.com (Link berita disini)
Bagi mereka yang mengalami masa transisi 1999, pasti masih ingat kala Megawati digagalkan koalisi Partai-Partai Islam untuk menjadi Presiden karena dianggap bertentangan dengan nilai agama. They pay a high price. Situasi menjadi tidak aman terkendali dan berhenti ketika Megawati yang saat itu dipercaya merepresentasikan demokrasi terpilih sebagai Wakil Presiden. Simpati masyarakat yang besar memenangkan Megawati.
Isu feminisme memang efektif untuk menyelesaikan isu partisipasi wanita dari segi kuantitas. Hal ini terlihat seperti dalam penerapan peraturan yang mewajibkan quota minimum 30% untuk anggota dewan wanita. Namun bicara sisi negatifnya, hal ini membuka praktik bagi Partai untuk mencomot wanita tanpa memandang kompetensi kader demi semata-mata menutupi quota. Isu feminisme pun jadi dipolitisasi.
Namun tentu bukan berarti penulis anti wanita. Keberadaan wanita dan kapasitas kompetitifnya tentu dibutuhkan baik sebagai politisi maupun pemimpin. Hanya saja, sangat diharapkan untuk lebih menunjukkan kerja nyata dibandingkan kampanye isu feminisme.
Sebagai contohnya adalah Walikota Surabaya, Tri Rismaharini. Beliau bersama Joko Widodo dan Basuki Purnama disebut-sebut sebagai pemimpin masa depan Indonesia. Ibu Risma dikenal bukan karena mengkampanyekan segala diskriminasi yang dia alami sebagai pemimpin, tapi melalui kerja nyata dalam menata lingkungan kota Surabaya. Media asing seperti Huffington Post (link berita disini) pun turut meliput aksinya, Agustus lalu.
[caption id="" align="alignnone" width="267" caption="Ibu Risma, Sumber: Wikipedia"][/caption] [caption id="attachment_300555" align="alignnone" width="672" caption="Ulasan Huffington Post pada Ibu Risma"]
Esensi ini tidak hanya terbatas pada wanita saja. Basuki Purnama sebagai contohnya tidak terlalu tertarik untuk mengasihani dirinya kala suku dan agamanya dijadikan sasak tinju. Pria tersebut lebih berfokus pada pekerjaannya dan Basuki sekarang lebih akrab dikenal melalui manuver-manuvernya ketimbang simpati atas keminoritasan suku dan agamanya.
Bila wanita ingin berpolitik, biarlah dirinya dibentuk melalui jalan yang terjal sehingga terbentuk kualitas nyata ketika ia mencapai puncak tertinggi. Jangan sampai ia tiba di puncak dengan akomodasi lift ekspres! Jangan sampai seorang wanita menjadi pemimpin dengan hanya mengandalkan rasa simpati dan rasa kasihan akibat diskriminasi. Tekanan justru menunjukkan kualitas seseorang, apakah pribadi tersebut adalah quitter atau winner.
Anda Mungkin Tertarik Membaca:
1. Beri Ucapan Natal Haram, Terima Bingkisan Natal Halal
3. Ini Bukti Arab Saudi Bersalju Tiap Tahun
4. Jusuf Kalla: Agama Kristen Ada 300 di Indonesia, Islam Cuma Satu, Kurang Toleran Apa Kita?
5. Ini Jawaban Ahok Bila Anak Istrinya Dibunuh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H