Mohon tunggu...
Anjo Hadi
Anjo Hadi Mohon Tunggu... profesional -

"Politikus itu banyak. Tapi Negarawan itu sedikit."\r\n\r\nOnce worked as a journalist for OZIndo (Indonesian-speaking magazine in Australia) and Indomedia Australia.\r\n\r\nFollow me: https://twitter.com/AnjoHadi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Orang Indonesia Berkunjung ke Israel Tidak Etis?

21 Juni 2013   10:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:39 4125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_261826" align="aligncenter" width="300" caption="Holy What? (Koleksi Foto Pribadi)"][/caption]

Kunjungan Tantowi Yahya yang diundang pemerintah Israel secara pribadi, akhir-akhir ini mengundang sejumlah perdebatan. Ketua Dewan Penasihat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie menyebut Tantowi “mungkin kilaf” dan disebutnya tidak bisa membaca “sikap politik rakyat Indonesia.” Pernyataan ini lalu mengundang pertanyaan: etiskah orang Indonesia berkunjung ke Israel?

Merujuk kata “kilaf” yang dilempar Jimmy memberikan makna bahwa Tantowi melakukan sebuah kesalahan atau kata kasarnya dosa. Dalam konteks ini, berbicara dan membuka diri komunikasi dengan Israeladalah sebuah kesalahan dan sebuah dosa, tidak peduli apapun alasannya, mau itu perdamaian lah atau apalah....pokoknya haram. Itu artinya Mesir, negara Muslim yang selama ini mengakomodasi perdamaian Israel-Palestina selama bertahun-tahun hanya “kilaf” saja.

Jimmy juga menyebut bahwa kunjungannya bertentangan dengan “sikap politik rakyat Indonesia.” Aneh. Tidak ada yang namanya rakyat memiliki sikap politik. Yang ada hanya garis kebijakan politik. Garis kebijakan politik anti-Zionis dibuat oleh sekelompok orang di politik. Kalau ada rakyat yang setuju, itu keputusan pribadi. Mengapa? Karena masalah pro, anti –Zionis maupun netral bukan keputusan universal yang dipegang oleh seluruh rakyat Indonesia. Pernyataan ini artinya mempolitisir rakyat Indonesia secara universal.

Banyak komentar di Kompas.com dan media online lainnya yang menyebut Tantowi atau orang yang mendukung perjalanan Tantowi sebagai “orang yang tidak tahu sejarah.” Dengan sopan saya akan bertanya “Which one?” Zionis version atau Palestine’s version? Berapa banyak sih dari kita sekarang yang lahir sebelum tahun 1948 dan tinggal disana? Setelah postingan ini, saya akan menulis ringkasan Israel/Palestina sebelum 1948 karena kebanyakan postingan mengenai Zionis baik yang pro maupun kontra, lebih berlandaskan pada akibat ketimbang sebab. Lebih bertuju pada faktor emosi yang membuat kita kesal, terenyuh, tapi jarang yang mengedukasi.

Kalau Tantowi yang pejabat dan sudah menyebut bahwa perjalanannya itu undangan pribadi, masih dihujat, bagaimana dengan pejabat lain? Bagaimana kalau Ahok yang Kristen itu pergi ke Israel untuk ziarah? Kalau dulu katanya dibilang nerima dana dari Vatikan pas Pilkada DKI, maka kalau yang berbau Zionis, konspirasinya mungkin bisa lebih dahsyat lagi.

Bagaimana dengan ribuan atau puluhan ribu rakyat Indonesia yang berziarah ke Israel atau hanya sekadar berlibur? Bayangkan devisa yang diterima pemerintah Israel? Apakah aksi “memperkaya Israel” ini disebut sebagai aksi mengkhianati bangsa?

Ketika anggota DPR plesiran keluar dengan menggunakan uang rakyat, BK DPR kayaknya tidak sepanas ini. Tapi giliran yang berbau Zionis, barulah BK bertindak melakukan “apa yang seharusnya mereka lakukan” beberapa tahun belakangan. Denmark, Jerman, Australia....ah terlalu banyak.

Tapi sekali lagi kita harus berterima kasih karena berkat Tantowi, kita melihat pendapat-pendapat imut dari berbagai pihak. Ketua FPI Habib Riziq misalkan meminta Tantowi dipecat karena sudah melukai perasaan umat Islam.

''Dia bodoh, buta dan tuli mengatakan Israel tidak memusuhi Islam. Untuk itu, kami meminta Badan Kehormatan (BK) DPR memecat mereka semua,'' ujarnya sepeti dikutip Republika.

Kembali lagi ke soal etis, tidak etis. Saya mau share sedikit. Dalam perjalanan menuju Taba, perbatasan Mesir dan Israel, guide saya menceritakan hal yang menarik. Sebelum tahun 2003, Indonesia mengeluarkan semacam travel regulation yang menyatakan bahwa warga Indonesia tidak bisa pergi ke dua negara:

1. Portugal (You know why)

2. Israel.

Namun hal tersebut dihilangkan oleh Presiden Abdurahman Wahid dan orang Indonesia yang mau ziarah atau liburan sejak saat itu tidak harus menumpang tur ke negara dekat (eg: Singapura). Wow, berarti sebelum tahun 2003, kita sudah memperkaya bisnis travel di Singapura seberapa banyak?

Yang membuat perjalanan ke Israel salah selama ini adalah persepsi kita yang salah mengenai status konflik Israel-Palestina. Penjajahan atau Perang Sipil? Nanti akan saya tuliskan di postingan selanjutnya yang membahas tentang Israel/Palestina sebelum 1948. Saya banyak membaca artikel Zionisme di Kompasiana, tapi sepertinya hampir tidak ada yang memberikan brief sejarah gerakan nasionalisme Yahudi dan Arab, jauh sebelum negara Israel dan Palestina berdiri.

Simak kelanjutannya di:

Israel, Palestina dan 1948 FAQ

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun