Mohon tunggu...
Anjo Hadi
Anjo Hadi Mohon Tunggu... profesional -

"Politikus itu banyak. Tapi Negarawan itu sedikit."\r\n\r\nOnce worked as a journalist for OZIndo (Indonesian-speaking magazine in Australia) and Indomedia Australia.\r\n\r\nFollow me: https://twitter.com/AnjoHadi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Debat Capres II: Prabowo-Jokowi Terjebak Politik Santun?

17 Juni 2014   22:17 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:20 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="582" caption="Sumber: Tribunnews"][/caption]

Pada tahun 2013 lalu, Australia mengadakan Pemilu Federal untuk memilih Perdana Menteri yang baru. Persis seperti Pilpres Indonesia, saat itu terdapat dua kontestan yakni Kevin Rudd sebagai incumbent Labor Partydan Tony Abbott sebagai Pemimpin Oposisi Liberal Party.

Sebelum Pemilu digelar tiga buah sesi debat nasional. Tidak sampai lima fase seperti di Indonesia. Dari segi pengadaan moderator ada perbedaan pula.

Dua debat capres pertama dipimpin moderator dari kalangan akademisi. Pada 9 Juni lalu dimoderasi Zainal Arifin Mochtar, pengamat hukum dari UGM dan debat 15 Juni lalu oleh Ahmad Erani Yustika, ekonom dari Universitas Brawijaya.

Sementara itu di Australia, moderator ditarik dari kalangan jurnalis. Debat dimoderasi oleh David Speers, seorang editor politik Sky News Australia yang dihormati di bidangnya serta peraih lebih dari 10 ASTRA AWARD terutama untuk kategori presenter editor politik terbaik di Australia. Speers tidak sendirian. Pada debat pertama misalkan, dihadiri pula oleh panelis jurnalis dari media-media besar di Australia.

Sebelumnya juga David Speers juga berpengalaman memimpin debat kandidat calon Perdana Menteri Australia pada tahun 2007 dan 2010. Berbeda dengan para moderator debat Pilpres Indonesia 2014 yang baru mendapat kesempatan pertama.

Para pembaca mungkin menyadari banyaknya kritik terhadap moderator kita yang dianggap terlalu kaku dan kurang bisa menghidupkan suasana. Apakah segi pengalaman dan latar belakang okupasi (Jurnalis Vs Akademisi) mempengaruhi yang jelas ini akan menjadi renungan menarik. Ada beberapa faktor lain juga yang membuat debat Pemilu Australia terasa debat ketimbang “tanya-jawab.”

Semenjak pernyataan pembuka, masing-masing kandidat Perdana Menteri sudah menunjukkan taringnya dengan mengekspos “kelemahan lawannya.” Secara teknis moderator, melempar pertanyaan pada satu calon, lalu meminta pendapat atau kritik dari calon lainnya. Perbadaan pandangan lantas berjalan secara natural. Peran moderator tidak hanya dibatasi dengan bertanya dan menjadi penengah. Moderator juga turut pula terlibat “ngrumpi” di setiap topik dengan MEMPERTANYAKAN ATAU MEMINTA KEJELASAN setiap pernyataan dari salah satu kandidat. Para kandidat juga diharuskan menjawab pertanyaan kritis dari setiap panelis.

Moderator Terlalu Santun?

Ini suatu missing part yang tidak terlihat oleh dua debat awal Pilpres Indonesia. Selain bertanya, moderator kurang memiliki ruh “interogator.” Untuk kasus Prabowo, misalkan sejak awal beliau selalu menekankan pada isu “kebocoran 1000 trilyun” pada hampir semua isu.

Tidak sekalipun moderator bertanya, apa langkah-langkah kongkret untuk menghentikan “kebocoran 1000 trilyun.” Kita harus tahu bahwa dalam statement ini ada dua institusi yang Prabowo serang. Pertama adalah pemerintah (yang korup). Kedua adalah KPK (yang kecolongan).

Moderator tidak sekalipun (atau berani?) mempertanyakan komitmen Prabowo, sementara dalam gerbong koalisinya banyak Partai-Partai dalam pemerintah yang terlibat kasus. Untuk KPK, bagaimana Prabowo memperkuat atau membuat “KPK pemerintahan Prabowo” berbeda dengan “KPK pemerintahan SBY.?"

Kalau tidak ada bedanya...nanti tetap bocor 1000 trilyun lagi donk? Apalagi gerbong koalisi Merah Putih tak dipungkiri banyak keterkaitan dengan kasus korupsi bukan? Selain itu, tema debat adalah pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial, bukan penegakan hukum. Jawaban-jawaban yang dibutuhkan saat itu adalah konsep ekonomi praktis dimana Jokowi dalam konteks ini unggul dengan memperkenalkan konsep pembangunan pasar tradisional, Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan pembangunan “tol laut nasional.”

Untuk kasus Jokowi, permainan cantik Pria Solo ini terletak pada program-program seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan “ekonomi berdikari” seperti pembangunan pasar-pasar tradisional.

Jokowi saat itu hanya berkata “anggarannya sudah ada.” Namun moderator tidak lebih jauh kritis bertanya bayangannya berapa trilyun rupiah dibutuhkan untuk mengakomodasi lebih dari 250 juta rakyat Indonesia. Lalu butuh berapa lama sosialisasi hingga seluruh rakyat Indonesia bisa menikmati kartu tersebut.

Dan yang paling menarik adalah proyek ambisius “Tol Laut Jokowi.” Seperti apa blue print-nya? Apakah ini seperti tol atas laut atau berupa underpass? Kapan bisa diselesaikan? Ini tentu proyek ambisius yang menelan biaya tidak kecil.

Alhasil debat kemarin, moderator cuma berfungsi melempar pertanyaan dari satu kandidat ke kandidat lain ketimbang menghidupkan atmosfer debat. Inilah yang sebelumnya ditakutkan oleh pengamat politik Teguh Yuwono dari Universitas Diponegoro, Semarang.

"Jangan lagi terjebak pada suasana formal. Biarkan saja mengalir, dinamis. Kalau terlalu formal, malah seperti cerdas cermat. (Pertanyaannya, red.) dilempar ke kiri dan ke kanan," ucapnya seperti dilansir Republika.

Kandidat Juga Terlalu Santun?

Memasuki sesi ke-4, masing-masing kandidat diharuskan melempar pertanyaan kritis pada lawan bicara. Alih-alih menggunakan kesempatan ini untuk menunjukkan sisi unik dari kubunya, baik Jokowi maupun Prabowo malah bertukar peran seperti moderator pendahulunya.

“Bagaimana pandangan bapak mengenai DAU dan DAK?” (Jokowi pada Prabowo)

“Apa target pertumbuhan ekonomi yang bapak canangkan?” (Prabowo pada Jokowi)

Lho ini wartawan atau kandidat Presiden? Masing-masing kandidat terlihat mengalami kesulitan untuk keluar dari “zona santun” dan mengekspresikan perbedaan dan keunggulan diantara keduanya. Mengapa bisa seperti ini?

Analisa Kesulitan Prabowo: Right Bullet For The Wrong Target

Orasi amunisi politik beliau seperti kita tahu selama ini berpusat pada lemahnya penegakan hukum dan bocornya ribuan trilyun rupiah. Kampanye ini sepertinya sudah disiapkan sejak lama untuk menghadapi lawan politik tertentu. Siapa lagi kalau bukan pemerintahan incumbent SBY.

Andaikata Gerindra tidak pecah kongsi dengan PDI-P, maka dalam Pilpres kemungkinan Prabowo akan berhadapan dengan calon dari Partai Demokrat atau koalisinya di debat tersebut. Bila Prabowo at this stage tidak berkoalisi dengan PKS dan PPP, maka beliau akan dengan leluasa mengkoyak-koyak lawannya dengan hanya menunjuk jari tiap dosa di kubu partai lawan.

Namun kini dihadapannya adalah Joko Widodo. Sulit bagi publik untuk menarik benang merah antara seorang Jokowi dengan dengan kejahatan “kebocoran 1000 trilyun” pemerintah pusat. Amat wajar bila Prabowo galau di awal-awal pencapresan Jokowi. Semua amunisi politik yang beliau bangun selama ini diciptakan untuk memberondong pemerintah incumbent, bukan kader oposisi seperti Jokowi. Prabowo pun hanya bisa melempar pertanyaan-pertanyaan netral yang tidak cukup untuk menyudutkan personalita Jokowi.

Ironisnya, Prabowo kini malah berkawan dengan partai-partai yang terlibat dalam pemerintahan pusat SBY. Siapakah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tatkala uang negara bocor “1000 trilyun”?

Apa daya, run and bite the bullet, Mr Prabowo....

Analisa Kesulitan Jokowi: Becoming Someone Else

Untuk bisa beradu bicara dengan Prabowo, ini sudah dianggap sebagai keajaiban. Pada dasarnya, Jokowi memang bukanlah sosok konfrontatif yang cocok ditempatkan dalam acara debat.

Jokowi adalah seorang diplomator, bukan konfrontator. Figurnya tidak dibangun melalui orasi cetar membahana seperti Prabowo. Tapi setidaknya, ia memiliki nilai point plus, tatkala Jokowi adalah yang pertama mengambil inisiatif “menyerang” ketimbang Prabowo.

“Katanya banyak uang, tapi kenapa APBN kita defisit?” tanya Jokowi.

Sebuah open-ended question yang mudah dipatahkan Prabowo dengan menjawab “ya karena kebocoran toh.”

Bahkan ada satu adegan dimana Jokowi justru memberi masukan pada Prabowo ditengah sesi debat. Prabowo lalu lantas menyetujui dan memeluk Jokowi. Mungkin hanya di Indonesia dimana kedua lawan bicara bisa terlihat mesra ditengah acara debat.

Tidak ada yang salah dengan gestur ini, namun waktu yang ada sebenarnya bisa dimaksimalkan untuk hal yang lebih bermanfaat kalau saja kedua kandidat tidak terlalu terpaku pada zona santun.

Ketika Prabowo terlihat pasif hingga jelang akhir sesi tanya jawab, setidaknya Jokowi berani sekali lagi keluar dari zona santun dengan pertanyaan seperti ini:

“Pak Prabowo, kami minta klarifikasi mengenai anggaran desa yang tercatat satu milyar. Karena yang saya tahu di Undang-Undang Desa, itu anggarannya bisa bervariasi (dan lebih dari 1M) tergantung luas wilayah, penduduk dan kemiskinan disana.”

Secara inti, Prabowo menjawab bahwa deklarasi tersebut dicanangkan sebelum Undang-Undang Desa keluar. Melihat adanya celah untuk melanjutkan serangan, Jokowi lalu berkata seperti ini.

“Jadi artinya bukan 1 milyar yah Pak. Siapapun Presidennya karena sudah merupakan Undang-Undang, maka secara otomatis anggaran sebesar 1.2M atau 1.3M akan tetap mengucur ke desa.”

Dengan kata lain: Buat apa pak Prabowo memperjuangkan SESUATU YANG TELAH ADA SEBELUMNYA? Prabowo terlihat tersenyum kecil dan mengalihkan pandangannya ke arah berlawanan.

Late Counterattack....

Sehabis pertanyaan itu, barulah Prabowo mulai terlihat keluar dari zona santun. Beliau pun mulai mencecar mengenai respon Jokowi terhadap menghadapi kontrak-kontrak asing. Sayang waktu sudah habis. Ibarat mesin diesel, masing-masing kedua kandidat baru “panas belakangan.”

Apakah menurut anda, para kandidat terlihat terlalu kaku dan santun saat itu? Silahkan beri pendapat anda...

Anda Mungkin Tertarik Baca:

1. Ada Soeharto Ditengah Prabowo-Hatta

2. Sulitnya Kementrian Agama Kelola Uang & Tuhan

3. Israel, Palestina, 1948 FAQ

4. Membingungkan Watak Politik Jusuf Kalla

5. JK: Agama Kristen Ada 300 Aliran, Islam Cuma Satu. Kurang Toleran Apa Kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun