Mohon tunggu...
Lia Anjelyn
Lia Anjelyn Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

we’re connected

Selanjutnya

Tutup

Hukum

UU KPK untuk Indonesia Bebas Korupsi

19 Juni 2022   17:17 Diperbarui: 6 Juli 2022   16:36 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia adalah negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau dengan sekitar 255 juta penduduk, menjadikan Indonesia  negara terpadat keempat di dunia. Angka ini juga berarti bahwa negara ini memiliki banyak keragaman budaya, suku, agama, dan bahasa. Indonesia juga dikenal sebagai negara hukum yang konsepnya disesuaikan dengan Pancasila. Negara hukum berdasarkan pada Pancasila ini berarti suatu sistem hukum yang didirikan berdasarkan asas-asas atau norma-norma yang terkandung dari nilai yang ada dalam Pancasila sebagai dasar negara. Namun disisi lain, hukum Indonesia masih memiliki banyak celah dan celah tersebut malah dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab demi kepentingan pribadinya. Sebut saja para koruptor, mereka mengambil uang Negara yang tidak sedikit bahkan sampai ratusan triliun hanya untuk memenuhi kehidupan pribadinya. Salah satu contoh kasusnya yaitu kasus korupsi dana Bansos untuk warga yang terdampak pandemi Covid-19, oleh mantan Menteri Sosial Juliari Batubara.

Dana yang seharusnya disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan tapi malah ia korupsi. Dan ia hanya dijatuhi hukuman selama 12 tahun penjara. Bahkan sebelumnya hakim sempat akan meringankan hukuman tersebut hanya karena Juliari sudah menerima banyak cacian dari masyarakat Indonesia. Sungguh hukum di Indonesia ini sangat tidak masuk akal. Maka dari itu perlu adanya pembenahan pada sektor hukum di Indonesia khususnya hukum tindak pidana korupsi. Pemerintah telah melakukan revisi terhadap UU Nomor 30 Tahun 2002 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 namun menurut pakar hukum revisi atas undang-undang tersebut masih memiliki celah yang melemahkan KPK sendiri dan dianggap memberikan keuntungan bagi para pelaku korupsi. Seperti yang disebut pada ketentuan Penutup dalam Pasal 70C pada saat undang-undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Ketentuan ini bertentangan dengan ketentuan umum dalam perumusan aturan sementara yang dianut dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Aturan sementara yang umumnya dirumuskan adalah berlakunya dua ketentuan hukum dalam perundang-undangan yang berlaku, sesuai dengan waktu yang terjadi. Tersangka tindak pidana korupsi dapat memanfaatkan perubahan kedudukan Pimpinan KPK, yang tidak lagi berkedudukan sebagai 81 Penyidik dan Penuntut Umum, sehingga dengan diberlakuknnya UU 19 Tahun 2019 maka penetapan tersangka yang ditandatangani oleh Pimpinan KPK menjadi terbuka di Praperadilankan atau diajukan gugatan rehabilitasi dan kompensasi.

Selain itu, penyitaan pada UU KPK sebelum revisi memberikan kewenangan kepada Penyidik KPK untuk melakukan penyitaan tanpa perlu izin pengadilan terlebih dahulu sesuai Pasal 47 UU KPK sebelum revisi. Ketiadaan izin Ketua Pengadilan tersebut digantikan dengan kewajiban penyidik untuk terlebih dahulu mempertimbangkan relevansi bukti permulaan yang cukup dengan barang bukti yang akan disita. Hal tersebut mengingat KPK sejak tahap penyelidikan naik ke penyidikan sudah mempunyai beban untuk memiliki bukti permulaan yang cukup sehingga kehati-hatian penyidik dan penyelidik menjadi utama.

Barang bukti korupsi merupakan sesuatu yang potensial untuk dapat dihilangkan secara cepat sehingga dibutuhkan tindakan yang cepat dari penyidik, termasuk pasca OTT, untuk mengamankan barang bukti tersebut. Namun dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 hanya mengijinkan penyitaan dilakukan atas dasar izin dari Dewan Pengawas. Padahal apabila kita merujuk kembali ke KUHAP, teradapat dua mekanisme yang tersedia. Pertama, penyitaan dilakukan atas izin Ketua Pengadilan sebelumnya sesuai Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Kedua, penyitaan dalam keadaan harus segera bertidak dan tidak mungkin mendapatkan izin Ketua Pengadilan terlebih dahulu atas benda bergerak tanpa izin Ketua Pengadilan. Akan tetapi, setelah selesai penyitaan maka harus mendapatkan persetujuan dari Ketua Pengadilan.

Pemberlakuan Pasal 47 UU Nomor 19 Tahun 2019 memberikan celah besar bagi pelaku atau orang yang lain untuk memusnahkan atau memindahkan barang bukti, karena penyidik KPK harus mengajukan izin secara bertahap. Ini akan memakan waktu yang cukup lama. Belum lagi, ketika ada kondisi ketika tindak pidana dilakukan jauh diluar Kantor KPK yang hanya boleh berada di Jakarta. Keadaan barang bukti semakin tidak mendapatkan penjagaan karena tidak adanya upaya paksa penyidik sembari menunggu izin dari Dewan Pengawas bahkan dalam kondisi dimana barang bukti ada didepan mata penyidik.

Maka dari itu perlu adanya pengakajian kembali undang-undang tersebut. Entah direvisi kembali atau dilakukan studi lanjut untuk penyempurnaannya dan juga agar undang-undang ini tidak berat sebelah dan tidak menguntungkan pihak yang salah. Karena tujuan utama dari dibentuknya undang-undang tersebut adalah untuk memberikan keadilan dan hukuman yang setimpal kepada para pelaku. Serta dalam pencegahan tindak pidana korupsi sendiri masyarakat perlu diberikan edukasi tentang korupsi itu sendiri selain itu kita juga harus menanamkan kejujuran pada diri kita, memberikan pengertian hukum yang berlaku kepada diri sendiri dan masyarakat, selalu hidup sederhana, menumbuhkan sifat tanggung jawab, dan menumbuhkan keberanian untuk menolak tindak korupsi. Untuk para pelajar dan mahasiswa bisa diberikan edukasi melalui pendidikan antikorupsi di lembaga pendidikan masing-masing. Dengan begitu kita bisa mencegah tindak pidana korupsi sejak dini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun