Selama lebih dari dua dekade, PKS tetap berada di posisi stabil dalam politik Indonesia. Meski telah melewati berbagai badai politik, partai ini tetap berkutat di angka yang relatif sama dalam pemilu. Ada yang menarik dari 'perubahan strategi' PKS akhir-akhir ini. Mereka sepertinya ingin lebih fokus pada kerja politik, daripada mencoba mengakomodasi terlalu banyak hal sekaligus.Â
Ini sejalan dengan pandangan salah satu politisi PKS yang saya ikuti forumya di Malang kemarin bahwa masalah utama partai ini terletak pada ketidakjelasan fokus partai. Selama ini, PKS terlibat dalam berbagai isu lintas bidang, tetapi ini justru menjadi bumerang. Alih-alih menjadi spesialis yang diandalkan masyarakat dalam satu bidang, PKS terlihat seperti "jack of all trades," menguasai semua tapi tidak mendalami apa pun secara khusus. Ini membuat publik ragu memberikan mandat lebih besar.Â
Kita ketahui, sebelumnya partai ini dikenal dengan sebutan 'partai dakwah'.  Pendek kata lebih mirip dengan cara kerja ormas Islam yang sibuk mengurusi tata cara ibadah pengikutnya. Yaitu ikut mengatur hukum fiqh  hingga penentuan hari raya jika ada perbedaan.  Hal ini jelas tidak efektif, lha wong targetnya cari konstituen kok malah bikin barier dengan ormas lain.Â
Berkaca dari problem diatas, tantangan utama yang mereka hadapi adalah bagaimana memposisikan diri lebih spesifik. Â Harapannya publik bisa lebih percaya dan memberikan mandat politik yang lebih besar.
PKS bisa Belajar Kepada PDIP Sebagai Partai Kader
Jika dibandingkan dengan PDIP, kedua partai ini sama-sama dikenal sebagai partai kader yang memiliki basis ideologi dan sistem keanggotaan yang kuat. PDIP, dengan ideologi nasionalisme dan sejarah panjang perjuangan di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, telah berhasil mempertahankan posisinya sebagai partai terbesar dalam beberapa pemilu terakhir. Pada Pileg 2024, PDIP memperoleh 110 kursi, meskipun jumlah ini berkurang dari sebelumnya sebanyak 128 kursi.
Sementara itu, PKS, dengan pendekatan berbasis agama dan moralitas Islam, mendapatkan 53 kursi di DPR pada pemilu yang sama. Perbedaan mendasar antara kedua partai ini terletak pada pendekatan mereka dalam membangun basis dukungan. PDIP mampu memanfaatkan identitas nasional dan gerakan populis, sementara PKS lebih fokus pada pengorganisasian kader di kalangan komunitas Muslim dan isu-isu sosial.
Dalam hal performa di DPR, PDIP sering kali memimpin koalisi pemerintahan dan memanfaatkan jaringan serta kedekatan dengan pemerintahan yang sedang berkuasa untuk memperluas pengaruhnya. Di sisi lain, banyak pengamat dan politisi dari partai lain mengakui kualitas SDM PKS yang kompeten dan militan, namun publik belum sepenuhnya yakin dengan komitmen mereka. Baik  dalam menjaga kesetiaan pada NKRI maupun ketika diberi amanah kekuasaan.Â
Ini menimbulkan keraguan publik, terutama karena masih ada stigma bahwa PKS terlalu condong pada agenda-agenda ideologis ketimbang nasionalis. Sebagai contoh, peran PKS sebagai oposisi sering kali dianggap lebih kental aspek ideologis, sehingga publik masih ragu apakah partai ini mampu menjadi alternatif pemimpin di level nasional.
Sebagai solusi, PKS perlu menentukan satu isu utama yang bisa diangkat sebagai identitas partai. Misalnya, fokus pada ekonomi  atau pendidikan yang bermartabat dan relevan dengan tantangan zaman. Strategi ini mirip dengan yang dilakukan oleh partai-partai lain yang berhasil mendulang suara melalui isu-isu spesifik, seperti kesejahteraan rakyat atau pembangunan infrastruktur. Fokus ini akan mempermudah publik mengidentifikasi peran PKS dan menguji kapasitas mereka dalam memimpin isu tersebut.