Kemarin malam, saya bermimpi aneh. Dalam mimpi itu, saya berada di sebuah masjid besar yang lengang. Suasana begitu sunyi, seolah waktu terhenti. Saya berjalan di tengah ruangan, mendengar gema langkah kaki saya sendiri yang bergaung di dinding-dinding masjid.Â
Tiba-tiba, dari balik tiang besar, muncul seekor ular hitam panjang. Matanya bersinar tajam, seolah-olah ia sedang mengincar mangsa. Saya berdiri mematung, terkejut dan takut. Ketika ular itu mulai bergerak mendekat, naluri saya memerintahkan untuk lari, namun kaki ini seakan tertanam di lantai marmer yang dingin.
Ular itu muncul kembali, mengejar saya lebih cepat dan lebih agresif.
Saya panik. Tanganku meraih sesuatu, sebuah tongkat panjang yang entah bagaimana tiba-tiba ada di tangan saya. Dengan segenap keberanian yang tersisa, saya berbalik dan mengarahkan tongkat itu ke arah ular yang kian mendekat. Anehnya, saat tongkat itu terangkat, ular itu menghilang seketika. Tubuhnya lenyap bagai kabut yang tertiup angin. Namun, ketika saya berpaling dan mulai berlari lagi, saya mendengar desisan yang semakin keras.Saya terbangun dengan napas tersengal, tubuh basah oleh keringat. Kamar saya gelap, hanya ada suara angin malam yang merayap masuk lewat jendela yang sedikit terbuka. "Mimpi buruk," gumam saya, mencoba meyakinkan diri. Saya menenggak segelas air dan mencoba tidur kembali, meski bayangan ular hitam itu terus menghantui.
Awalnya, saya menganggap mimpi itu hanya bunga tidur, hal biasa yang sering terjadi setelah hari yang melelahkan. Namun, keesokan harinya, sesuatu yang aneh terjadi. Saat siang tiba, di sela-sela kesibukan saya, bayangan mimpi itu datang kembali. Kali ini tidak sekadar kilasan memori, tetapi seolah tergambar jelas di hadapan saya. Gema suara langkah kaki di masjid, desisan ular, dan sensasi ketakutan yang sama tiba-tiba muncul. Rasanya nyata, seakan-akan saya kembali berada di dalam mimpi yang sama, namun kali ini saya terjaga.
Saya mencoba mengabaikannya. "Hanya imajinasi liar," pikir saya. Namun semakin saya mencoba melupakan, semakin jelas gambaran itu muncul, seperti potongan-potongan film yang diputar ulang di kepala saya. Ketakutan mulai menjalar perlahan, ada yang tidak beres. Tapi saya tidak tahu apa.
Sore harinya, saya memutuskan untuk mengunjungi masjid di dekat rumah. Saya tidak tahu pasti apa yang mendorong saya ke sana, mungkin hanya untuk menenangkan diri, mencari jawaban dari mimpi yang mengganggu itu.Â
Masjid itu tidak terlalu besar, tapi cukup megah dengan kubah yang menjulang tinggi. Saya duduk di saf terdepan, merasakan ketenangan yang biasa hadir saat berada di rumah Allah. Namun, di dalam ketenangan itu, perasaan cemas tidak juga hilang.
Lalu, suara itu kembali—suara desisan yang dulu hanya ada dalam mimpi. Saya membeku. Desisan itu begitu nyata kali ini, bukan sekadar ilusi dari tidur yang terganggu. Seolah-olah ada sesuatu yang bergerak di belakang saya.Â
Saya memutar kepala perlahan, namun tidak ada siapa-siapa. Masjid ini kosong. Tapi suara itu semakin nyata, dan saya merasa sepasang mata tengah mengawasi saya dari sudut-sudut gelap ruangan.
Dalam hati saya mengucap istighfar, memohon perlindungan. Ketakutan mencengkeram, namun saya berusaha tenang. Saya teringat mimpi itu, ketika ular menghilang saat saya mengarahkan tongkat ke arahnya.Â