Setelah hujan reda. Semua guru kondur. Santri juga masuk ke asrama untuk bersiap sekolah formal. Termasuk saya juga  lagi di kantor umum -- untuk persiapan nominasi peserta ujian ke dinas.Â
Tidak berselang lama, Keluarga ndalem yang stand by di pondok, tersisa Gus Munir, sedang menerima panggilan seluler. Belum ada kepastian infonya.Â
Tapi beliau langsung memanggil santri senior untuk membersihkan kamar Abah. Dengan wajah ditekuk, salah satu santri Juman, Maftuch, saya tanyai, ‘ono opo tuch ?’ ‘Abah…’.Â
Ia tak kuat berbicara. Hatinya sepi. Khas ekspresi orang kehilangan sesuatu yang berharga.Â
Satu persatu guru merapat di depan kantor diniyah. Gus Munir mengabarkan kalau Abah Yai sampun kapundut. Semua tertunduk lemas.Â
Meskipun begitu, tetap harus bagi tugas : ada yang  menghubungi para keluarga. Seingat saya, ada utusan yang langsung sowan ke Sukodono. Mengabarkan secara langsung terkait berita lelayu ini.Â
Kebetulan, Romo Yai Zeid juga lagi mempersiapkan seribu hari Romo yai Ubadillah bin Yusuf. Bertepatan pada hari itu juga. Sukodono adalah kediaman guru Abah, Syaikhina Muhammad bin Yusuf. Maha Guru thoriqoh tijani. Abah yai amat mencintai gurunya, bahkan dengan dzuriyah-nya.Â
Sementara di dalam pondok, untuk menenangkan para santri. Kembali mereka berkumpul di Musholla sambil membaca Yasin, Surat Al Ikhlas dan hailalah. Tibatiba ponsel saya berdering, ‘Pak Jay wonten berita nopo,’ tanya Abah Kholiq dari Manunggal. ‘Abah sampun kapundut’ ‘Innalillahi wa innailahi rajiun,’
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H