Sopir adalah 'mursyid' jalanan. Yakni, pemandu bagi dirinya sendiri bahkan pejalan lainnya yang menumpang di kendaraannya. Perlu diketahui, Mursyid  bukanlah 'tujuan' bagi para pengguna jalan. Tetapi sang Mursyid hanyalah sebagai 'sarana' dalam mengantarkan para pejalan kepada tujuannya dan memastikan mereka dalam keadaan selamat.
Agar menjadi  sopir itu yang baik maka ia harus memiliki kedaulatan. Kemandirian dalam mengemudikan kendaraannya. Kedaulatan bisa dimiliki, jika dia paham kendaraannya, identifikasi penumpangnya, peta jalan dan etika berkendara.  Kedaulatan ini merupakan kesadaran yang utuh dari sopir. Kelihatannya terdengar remeh metafor sopir ini. Tapi hal ini seringkali tidak dipahami oleh orang yang telah 'ditunjuk' dan 'dipilih' sebagai seorang pemimpin.
Kendaraan apapun pasti melaju diatas jalan. Secara fisik, jalan bisa berupa daratan, lautan, maupun udara.  Maka pengetahuan akan jalan ini begitu penting menentukan kenyamanan dalam mencapai tujuan. Seumpama, kendaraan melalui  jalan tol , maka dia harus memutuskan untuk  melaju dengan kencang. Kalau kecepatannya lambat, maka patut dipertanyakan kualitas kendaraannya dan sopirnya. Sementara di jalan kampung, sopir harus memiliki 'tata krama' dan sesekali menampakkan wajah senyum kepada orang yang 'cangkrukan'. Karena ada semboyan : Ngebut, benjut !.
Adapun tanggung jawab sopir itu bergantung pada seberapa banyak penumpangnya. Kalau yang dikendarai adalah mobil pribadi dan hanya ada dirinya sendiri, ia leluasa :Â untuk 'ngebut', nge-rem secara mendadak bahkan menyalip di sebuah tikungan yang tajam. Bukankah setiap manusia adalah pemimpin yang nantinya akan dimintai pertanggung jawaban.
Namun, hal itu berbeda bagi bus umum. Seorang sopir bus harus memiliki pertimbangan yang matang terkait kesiapan busnya, komposisi penumpangnya, kondisi jalan, dan akurasi waktu. Sang sopir tidak bisa seenaknya 'banting stir' secara tiba-tiba. Inilah model kepemimpinan 'jamaah'. 'Makmum' penumpang memberikan legitimasi penuh terhadap 'imam' sopirnya. Legitimasi ini tentunya berdasarkan kemampuan dan kepercaanya bahwa ia layak jadi sopir 'wong akeh'.
Injakan gas dan rem itu senantiasa harus mengikuti ritme jalanan. Adakalanya pemimpin itu memberikan pernyataan, tampil di publik, tapi disaat yang sama ia tetap bersahaja. Menjadi pemimpin memang tidak mudah. Karena kepemimpinan adalah sebuah amanah.
Orang jawa memiliki sebuah idiom : 'manunggaling kawulo gusti'. Yakni menyatunya pemimpin dengan rakyat di satu pihak, sedang di pihak lain menunjukkan bersatunya manusia dengan Tuhan. Kebijakan yang menyengsarakan rakyatnya itu sama dengan bentuk kedurhakaan di hadapanNya. Sehingga trust dari anak buah itu muncul ketika pemimpin telah menunaikan kebajikan dalam memelihara kehormatan, keadilan dan kemakmuran.
Dalam perjalanan, ingatlah pesan poster di dalam bus : 'Dilarang berbicara dengan sopir'. Sungguh maafkan diriku, yang telah membicarakanmu, Pak Sopir.
Anjaya Wibawana
Ketua GMI
(Griya Madani Indonesia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H