LAHIRNYA  sekolah berlabel  ’Islam’ itu berawal dari adanya dikotomi antara ilmu umum dengan ilmu agama. Sementara mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, bahkan terbesar di seluruh dunia. Dikotomi keilmuan tersebut menyebabkan seorang muslim memiliki pemahaman sekuler. Sehingga muncul usaha untuk menyelenggarakan pendidikan secara terpadu guna melahirkan generasi muslim yang pengetahuan umumnya sebanding dengan pengetahuan agama. Jadi sholat tidak sebatas dipahami diatas sajadah :  melainkan ketika di sekolah, di kantor, di manapun ia berada tetap bersujud (tunduk) untuk membesarkan Allah.
Beberapa waktu yang lalu, saya bertemu dengan  para pengelola sekolah muslimyang adadi Surabaya. Ternyata ada yang ‘iri’ dengan perkembangan Sekolah Islam Terpadu (SIT) Al Uswah. Iri kepada kebaikan yang dilakukan orang lain adalah sebuah kebaikan pula. Salah seorangnya adalah pimpinan sekolah modern, elit dan kerap dijadikan ‘benchmark‘ oleh sekolah muslim yang lainnya. Menurut beliau, parameter keberhasilan pendidikansesungguhnyatidak diukur berdasarkan fisik gedung dan fasilitasnya. Tetapi bagaimana output yang berupa kualitas lulusan dari sekolah tersebut.
Jika berbicara sekolah muslim, maka outputnya adalah melahirkan kader dakwah. Yaitu, mereka yang memperoleh pengalaman belajar di sekolah muslim tersebut harus mampu meneruskan mata rantai perjuangan umat Islam. Melalui kader dakwah inilah diharapkan bisa mewujudkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang ‘rahmatan lil alamin‘.
Menurut penilaian dari rekan pendidik ini, Sekolah Al Uswah yang terdiri dari SDIT, SMPIT, SMAIT dan Pesantren ini memiliki keunggulan dibandingkan sekolahnya. Ada lima hal yang disampaikan dalam diskusi informal, diantaranya ; Pertama, keseriusan dalam menyelenggarakan ‘tahfidz‘. Hafalan Quran merupakan ciri khas dari sekolah muslim. Karena Al Quran adalah sumber ilmu yang melandasi segala ilmu yang dipelajari oleh anak didik di sekolah. Pengajaran Quran ini di Al Uswah mendapatkan porsi spesial : 4 kali tatap muka per pekan, murojaah sebelum sholat dan evaluasi tahfidz melalui sertifikasi.
Kedua, memiliki guru yang sebagian besar memiliki pengalaman dalam organisasi maupun syiar Islam. Kualifikasi guru ini merupakan hal yang esensial. Tugas guru tidak sekedar ‘muallim‘ (mengajar), tapi harus mampu menjadi ‘murobbi‘ (membimbing) dan ‘muaddib‘ (memberi teladan). Untuk melahirkan kader dakwah maka diperlukan sejumlah  guru kader yang memadai.
Ketiga, pembinaan kepribadian muslim secara utuh. Konsep pendidikan terpadu yang diimplementasikan oleh Al Uswah sejatinya perpaduan antara pengetahuan umum dan pengetahuan agama. Sehingga tidak ada pemahaman sekuler ketika belajar matematika, IPS - bahwa semua ilmu itu muaranya adalah menemukan kebesaran Allah (tauhid). Selain itu, di luar pembelajaran akademik, Al Uswah juga mendorong anak didiknya untuk senantiasa menempa dirinya dalam organisasi siswa (OSIS), forum ‘halaqoh’, mabit dan kegiatan pendukung yang lainnya.
Keempat, mayoritas wali murid Al Uswah memiliki pemahaman agama yang bagus dan berpendidikan tinggi. Orang tua merupakan pilar penting dalam pendidikan, utamanya mendampingi anak untuk membiasakan nilai-nilai kebaikan yang diperoleh dari sekolah, selanjutnya diterapkan dalam rumah. Bagi anak didik putri, memakai jilbab tidak sebatas lagi di sekolah. Akan tetapi mereka sudah terbiasa melakukan secara sadar di rumah berkat dukungan orang tua.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sekolah swasta membutuhkan finansial yang mencukupi dalam operasional sekolah. Disinilah peran penting lainnya dalam mendukung finansial sekolah. Jadi orang tua tidak ‘pasrah bongkokan’, apalagi banyak tuntutan kepada sekolah agar anaknya menjadi yang dikehendakinya.
Kelima, meskipun tergolong sekolah baru tapi prestasinya tidak kalah dengan sekolah yang lainnya. Ada berbagai prestasi baik akademik maupun non akademik yang diraih oleh anak didik Al Uswah di setiap kejuaraan.
Semoga poin-poin kebaikan yang ada di Al Uswah ini dapat dimodifikasi oleh sekolah muslim yang lainnya. Selain itu merupakan tantangan bagi guru Al Uswah agar senantiasa berubah, bekerja keras dan memiliki semboyan: ‘Why not the best ?‘.
Surabaya, 7 Mei 2015
Anjaya Wibawana
Pendidik SMPIT Al Uswah Surabaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H