Bintang sama sekali tidak bisa memejamkan matanya meski tengah malam mulai berlalu. Pagi ini adalah sahur pertama di bulan Ramadhan. Setahun yang lalu dia masih merasakan kehangatan orangtuanya, bersama-sama menunaikan ibadah puasa. Namun begitu cepat berlalu, tak sampai sembilan bulan keduanya telah dipanggil olehNya.
Bintang mencoba tak menyalahkan siapapun, meski hatinya sangat sepi. Tapi inilah yang harus dia lalui.
Sepotong roti tawar lengkap dengan mentega dan telur rebus mulai melambai-lambaikan tangannya. Dalam hati kecilnya juga berjanji bahwa dia tidak akan mengharu biru masalah sahur atau buka puasa karena dia cukup sakit hati dengan celoteh salah seorang temannya di ibukota sana mengenai masalah itu. “Kalau mau ya seadanya.”, jawab teman itu ketika Bintang mencoba bergurau tentang buka puasa bersama. Mungkin Bintang harus mengakui bahwa hatinya mulai sensitif saat ini.
Perlahan Bintang bangkit dari tempat tidurnya. Dibuka jendela kamarnya lebar-lebar. Di kejauhan terlihat sebuah rumah kayu yang buruk dan hampir roboh, berlantaikan tanah dan sekelilingnya banyak rumput dan pohon yang nyaris tidak terurus. Rumah itu gelap karena tidak ada listrik padanya. Hanya suara radio yang terkadang kencang terbawa angin, menyiarkan wayang kulit semalam suntuk. Di rumah itu pulalah mbah Roso tinggal.
Mbah Roso, sosok yang begitu mengagumkan bagi Bintang. Dia seorang tua yang terlihat lemah dan tersingkir dari kehidupan. Dia seperti hanya komplit-komplit di kampung ini, karena kebetulan dia tinggal paling lebih dulu. Padahal dibalik itu, tak banyak orang yang tahu, bahwa dia sudah pernah menunaikan ibadah haji dan pernah menjadi pejuang melawan kumpeni pada waktu revolusi fisik. Hanya sayang tak ada catatan tentang itu. Dan mbah Roso pun hanya menginginkan catatan itu hanya dikepalanya.
Bintang mengamati rumah itu. Tak terdengar suara Anom Suroto, Mantep Sudarsono atau Ki Narto Sabdo mendalang di rumah itu. Tapi lampu minyak di rumah itu menyala, menandakan penghuni rumah sedang terjaga saat ini. Bintang pun memutuskan untuk menengok rumah itu. Perasaan takut, bahwa khabar rumah mbah Roso adalah rumah paling singup dan angker di kampung ini mencoba ditepiskannya. Hawa dingin pun tak lagi menghalangi Bintang.
Perlahan Bintang mendekati rumah itu dan melongok ke dalam melalui jendela. Terdengar suara pelan suara orang mengaji. Padahal jam masih menunjukkan pukul satu malam. Seperti ada perasaan ragu di hati Bintang untung menyapa. Takut mengganggu. Tapi penghuni rumah mendahuluinya. “Assalamualaikum.”, sapa mbah Roso.
“Walaikumsalam.”, jawab Bintang sedikit gemetar. Terdengar suara langkah kaki yang terseret. Tampak susah dia menapak. Sejenak kemudian terdengar suara dibuka, dan siluet Mbah Roso dengan pakaian baju koko yang lusuh dan sarung tak kalah lusuhnya muncul dari balik pintu. “Nak Dokter, masuk saja.”. Bintang terkesiap. Pandangan orangtua itu sangat tajam ternyata meski Bintang berdiri di kegelapan.
Dalam sekejap Bintang sudah berada dalam rumah itu. Sebuah dipan tua terletak begitu saja di sudut ruangan. Sementara perabot lain hampir tidak ada kecuali sebuah fronkas tua yang sudah tidak ada kacanya lagi. Sebuah sajadah tergelar di sudut yang lain beralaskan tripleks. Bagian ujungnya, tempat sujud tampak sudah kusam dan mulai berlubang. Bintang semakin takjub ketika melihat jidat orang tua itu sama sekali tidak berbekas hitam seperti layaknya orang yang sangat sering sholat.
“Aku selalu berdoa bahwa orang baik yang akan datang ke rumah ini. Maka sepantasnyalah aku menyuguhkan sesuatu untuk sahur pagi ini.”, kata Mbah Roso sambil berjalan menuju ke tungku kusam di ruangan yang sama. Ubi rebus pun dikeluarkan dari panci. Bau harum segera menyebar ke seluruh ruangan. Kemudian mbah Roso menyeduh teh untuknya.
“Maafkan Simbah ya Nak Dokter. Simbah ini tidak mengerti tentang puasa. Simbah hanya merasa bersyukur bahwa dengan ubi ini simbah bisa bernapas hingga sekarang. Segera saja habiskan sebelum Imsya menjelang. Kita akhirkan kalau perut kita masih mampu.”. Mbah Roso menyorongkan umbi itu dengan senyum yang tulus.