Hiruk pikuk pemilihan kepala daerah (pilkada) telah memasuki babak pendaftaran calon kepala daerah. Dalam masa ini, tiap-tiap partai politik mengusung pasangan calon terkuatnya untuk maju bertarung dalam pilkada. Pintu kesempatan untuk menjadi calon kepala daerah pun dibuka lebar-lebar. Setidaknya hal ini lah yang digembar-gemborkan oleh para pengurus partai politik, baik di tingkat pusat maupun daerah. Tujuannya mulia, untuk menjaring pasangan calon kepala daerah yang memiliki profesionalitas unggul, integritas kuat, serta tentunya elektabilitas yang tinggi.
Namun, pada kenyataannya berbeda. Proses penjaringan calon kepala daerah yang idealnya bisa menjadi kendaraan politik bagi siapa pun dinodai dengan syarat adanya ‘mahar politik’. Seperti dalam sebuah pernikahan, mahar digunakan untuk meminang seorang gadis. Begitu pula dalam pencalonan kepala daerah; mahar politik merupakan ‘prasyarat’ bagi seseorang untuk bisa mengantongi tiket kursi pencalonan. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya bisa mencapai miliaran rupiah tergantung berapa besar permintaan partai pendukung. Alasan pungutan ini pun bermacam-macam, mulai dari untuk biaya operasional partai, biaya kampanye, hingga memelihara konstituen.
Harapan beberapa orang yang berkeinginan memimpin daerahnya harus pupus sedari awal. Sebut saja Sebastian Salang, seorang pemerhati politik nasional. Ia terpaksa harus mengubur dalam-dalam mimpinya itu untuk maju dalam Pilkada di Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur karena permintaan sejumlah uang dari suatu partai politik jika ia ingin mendapat dukungannya. Hal senada juga dialami oleh calon bupati Simalungun, Kabel Saragih. Ia mengaku diminta uang sebesar 500 juta rupiah hanya untuk melengkapi kekurangan satu kursi dukungan dari suatu partai politik untuk maju ke pilkada (Kupang.Tribunnews.com; 01/07/2015).
Bagi yang berduit syarat tersebut tak pernah dianggap memberatkan. Tetapi, sebaliknya bagi orang yang tidak memiliki kapasitas finansial yang kuat, kesempatan bertarung dalam pilkada akan tertutup rapat. Secara luas, mahar politik dapat dipahami sebagai alat diskriminasi politik bagi seorang warga negara. Kita sudah mahfum bahwa hak politik seorang warga negara adalah memilih dan dipilih. Tanpa keduanya, esensi sebagai warga negara patut dipertanyakan. Terutama menyangkut hak dipilih apabila seseorang tersebut memang cakap dan berintegritas dalam memimpin. Tak boleh ada kekuatan penentu lainnya yang membatasi seseorang untuk mengartikulasikan hak politiknya itu. Adanya praktik mahar politik, seperti yang selama ini terjadi di Indonesia, berarti masih tumbuh suburnya aksi pelanggaran hak asasi manusia dalam berpolitik. Namun sayang sekali, tak banyak pihak-pihak yang menyadari permasalahan ini. Alih-alih memberangusnya, mahar politik malah dijadikan mesin pengeruk uang oleh kebanyakan partai politik.
Menginjak ranah hukum pidana, sejatinya, mahar politik dapat dilihat dari sudut pandang bentuk pemerasan terselubung. Dalam hukum positif dinyatakan bahwa pemerasan merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau suatu pihak yang memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman untuk memberikan imbalan baik berupa uang atau dalam bentuk lain. Sangat jelas mahar politik sama saja dengan hal itu. Seseorang tidak bisa mendapatkan hak politiknya-dalam hal ini adalah mencalonkan diri sebagai kepala daerah-karena ia tidak bisa membayar sejumlah uang yang dipersyaratkan oleh partai politik.
Memang seseorang bisa maju dalam pilkada dari jalur independen, namun kenyataan di lapangan masih berbicara bahwa dukungan partai politik dalam pemenangan Pilkada sangat diperlukan mengingat efektifnya mesin partai dalam memobilisasi massa. Bila ternyata berhasil duduk sebagai kepala daerah tanpa dukungan partai politik, persoalan lain akan muncul, yaitu lemahnya dukungan parlemen daerah dalam menjalankan roda pemerintahan. Alhasil, akan banyak program pembangunan yang tidak bisa berjalan mulus akibat adanya ‘gangguan’ dari anggota parlemen.
Di tengah anggapan bahwa mahar politik merupakan ‘ganjalan’ hak berpolitik seseorang. Tetapi tetap saja banyak yang melihatnya sebagai sesuatu yang wajar terjadi di dunia politik. Prinsip ‘loh jual, gue beli’  melandasi jamaknya praktik mahar politik ini. Terutama bagi kalangan yang ingin memperbesar ambisi kekuasaannya. Fenomena ini menjadi awal politik transaksional calon kepala daerah dengan partai-partai pengusungnya yang merusak tatanan pemerintahan. Corak relasi seperti ini yang akan selalu mewarnai jalannya pemerintahan dan akan menyebabkan pandemi korupsi yang tak berkesudahan.
Dukungan yang diberikan parlemen kepada kepala daerah berdasarkan asas untung rugi. Bukan berlandaskan pada kesejahteraan masyarakat luas. Maka tak perlu heran, bila di banyak daerah, pembahasan anggaran dibiarkan berlarut-larut akibat dari tarik ulur kepentingan antara parlemen dengan pemerintah daerah. Parlemen meminta jatah atas setiap rupiah dana yang dikeluarkan untuk pembangunan daerah. Akibatnya, dana tidak turun maksimal sehingga pelaksanaan pembangunan terkesan setengah-setengah. Belum lagi akibat dari keterlambatan ini adalah serapan anggaran yang rendah, sehingga menyebabkan terhambatnya gerak laju perekonomian.
Bagi pribadi kepala daerah, mahar politik yang telah dibayarkan kepada partai politik pengusungnya dilihat sebagai sebuah investasi. Masa menjabat kepala daerah merupakan masa panen atas investasi yang telah ia tanamkan. Mindset  semacam ini mendorong aksi korupsi banyak kepala daerah melalui modus penggelembungan harga, pengadaan barang dan jasa fiktif, hingga penggelapan dalam jabatan. Beruntung, banyak kepala daerah yang akhirnya diseret ke meja hijau untuk mempertanggungjawabkan kejahatan korupsinya.
Undang-Undang No 1 tahun 2015 yang mengatur tentang Pilkada sebenarnya telah melarang politik uang, termasuk praktik mahar politik. Namun, di lapangan, aturan ini tak berlaku sama sekali. Aturan ini sengaja ditabrak karena tidak ada pegawasan ketat yang disertai dengan hukuman tegas. Malah terkesan partai politik berlomba-lomba mematok harga mahar politik yang harus dibayarkan oleh calon kepala daerah. Bak gayung bersambut, tawaran ini puh tak pernah sepi peminat. Orang yang punya uang dengan kemampuan nihil memanfaatkannya karena melihat seberapa besar kekuasaan yang dimiliki ketika menjabat kepala daerah nanti. Bila menjadi kepala daerah, seperti yang bisa kita tebak, ia tak akan pernah menorehkan prestasi tetapi justru terbelit kasus korupsi.
Di satu sisi, praktik mahar politik dibenci. Tetapi di sisi lain, praktik ini malah sangat disukai oleh segelintir orang. Perpecahan ini membuat penolakan terhadap mahar politik belum menjadi semacam gerakan bersama, suatu prakondisi dalam memerangi korupsi. Bila keadaan ini dibiarkan begitu saja, jangan harap negeri ini akan segera terbebas dari korupsi.