"Diversity is not an obstacle, but an inspiration to sustain closer relationship across differences” (Anjas Prasetiyo)
Globalisasi dan aktualisasi diri
Dunia sekarang ini seolah ‘menciut’, dipicu oleh keterbukaan informasi dan komunikasi, serta kemudahan bepergian ke berbagai belahan benua. Inilah jaman yang dinamakan globalisasi. Di jaman ini, hubungan antar negara relatif lebih ‘cair’, tak terkecuali bagi warga negara manapun yang bebas menjalin interaksi dengan siapa saja di negara lain. Tak heran, apabila suatu kejadian di wilayah lain yang berjarak ribuan kilometer dari tempat tinggal kita, dapat diketahui hanya dalam hitungan menit saja. Sharing informasi antar sesama anggota masyarakat dunia dengan dukungan media sosial, seperti Facebook dan Twitter merupakan hal yang lumrah terjadi sekarang ini.
[caption id="attachment_321619" align="aligncenter" width="300" caption="Berwisata ke Nagasaki dengan para sahabat."][/caption]
Perjalanan ke negara lain memainkan peran tersendiri dalam jagat pergaulan internasional. Tak hanya mendekatkan, aktivitas ini mempertemukan secara langsung beragam orang dengan latar belakang yang berbeda untuk saling mengenal satu sama lain. Tak sedikit persahabatan yang tulus tercipta karena pertemuan tak disengaja di saat melakukan perjalanan. Bahkan sebagian orang menemukan jodohnya saat melakukan perjalanan dengan tekad untuk merajut segala perbedaan yang ada. Akhir-akhir ini, perjalanan ke berbagai negara untuk tujuan bisnis maupun pariwisata meningkat tajam seiring dengan hadirnya low-cost airlines. Salah satunya adalah Air Asia, yang membuka kesempatan bagi semua orang untuk terbang menjamah negara lain.
[caption id="attachment_321621" align="alignright" width="300" caption="Geisha, salah satu daya tarik pariwisata Jepang."]
Saya dan Air Asia
Bagi saya, travelling merupakan kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi. Kegemaran travelling saya bukan didukung karena saya punya banyak uang. Tetapi lebih tertolong oleh tiket-tiket penerbangan murah yang ditawarkan oleh Air Asia. Di waktu senggang, saya memang sengaja berburu tiket yang dirasa tidak berat di kantong. Beruntung, upaya ini membuahkan hasil. Saya beberapa kali mendapatkan tiket pulang-pergi (PP) Air Asia dari Jakarta ke kota-kota lain di Asia Tenggara dengan harga kurang lebih satu juta rupiah saja.
Masalah harga tiket memang sudah tidak perlu dipikir pusing. Tetapi, pengeluaran lain harus dihitung dengan jeli, seperti akomodasi, transportasi lokal, biaya makan, tiket masuk ke obyek wisata, dan pembelian oleh-oleh untuk sahabat dan sanak saudara agar kenyamanan selama travelling tidak terganggu karena kekurangan uang. Saya tidak mau menjadi ‘gembel’ saat berjalan-jalan atau ‘bokek’ karena tabungan habis dipakai tak tersisa untuk travelling. Jelas, hal yang pertama akan menghancurkan kenangan indah travelling saya, sedangkan yang kedua malah akan menambah hutang di kemudian hari. Maka untuk mensiasatinya, setiap bulan saya sisihkan secara khusus sejumlah uang sebagai tabungan jalan-jalan. Bisa dikatakan, hobi travelling telah membuat saya lebih baik dalam merencanakan keuangan.
[caption id="attachment_321623" align="aligncenter" width="300" caption="Gemerlap lampu Esplanade, Singapura."]
Maskapai yang dinahkodai oleh Tony Fernandes itu juga dikenal rutin memberikan diskon harga tiket pesawat dengan jadwal waktu penerbangan hingga dua atau tiga bulan kedepan dari waktu pemesanan. Hal ini sangat membantu saya dalam menetapkan waktu cuti yang tidak harus dilakukan jauh-jauh hari. Mengambil cuti agak mendadak tidak jadi soal, terutama dipakai untuk perjalanan dekat seperti ke Bali, Singapura ataupun Thailand. Seringkali saya mengambil cuti pendek untuk travelling ke suatu tempat dalam rangka menghadiahi diri sendiri atas keberhasilan mencapai target pekerjaan yang dibebankan oleh kantor. Cara seperti ini membuat saya bisa liburan beberapa kali dalam setahun.
[caption id="attachment_321625" align="alignleft" width="300" caption=""Welcome to Thailand"."]
Travelling tak sebatas kegiatan bersenang-senang dengan menyambangi tempat-tempat eksotis, mencicipi hidangan lokal yang unik serta berbelanja produk khas suatu daerah atau negara. Namun, lebih dari itu. Travelling telah memberikan banyak pelajaran positif bagi pribadi saya. Travelling menjadi sarana transformasi mental dari mentalitas yang buruk ke mentalitas terpuji. Bukan berarti mentalitas yang tertanam dari lingkungan sekitar saya tidak baik, namun kekurangan yang ada bisa digenapi dengan mentalitas agung yang dimiliki oleh bangsa lain. Keterbukaan semacam ini saya rasa perlu supaya bangsa kita lebih beradab dan mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Lebih bisa menghargai waktu
Travelling seringkali dibenturkan pada masalah keterbatasan waktu. Sementara itu, kita ingin mengunjungi obyek wisata sebanyak mungkin. Kunci mengatasi persoalan ini adalah dengan membagi waktu dan menaatinya sedisiplin mungkin. Jadwal alat transportasi, seperti bus dan kereta dapat dijadikan patokan dalam mengatur waktu jalan-jalan kita. Pengalaman travelling ke kota Kyoto, Jepang mengajari saya semua itu. Masih lekat dalam ingatan ketika saya berpindah-pindah dari satu obyek wisata ke obyek wisata lainnya di kota itu dengan menggunakan bus. Sebelum naik bus, saya catat dengan cermat jam keberangkatan dan kedatangan alat transportasi tersebut supaya saya bisa memperkirakan lama kunjungan ke tempat-tempat tujuan. Beruntung, di setiap halte bus di sana, terpampang jadwal keberangkatan dan kedatangan bus yang jelas terbaca. Alhasil, saya bisa menikmati kunjungan ke empat kuil dan satu istana yang menjadi tujuan populer para wisatawan, yaitu Kinkaku-ji, Kiyomizu Dera, To-ji, Heian-Jingu, dan Kyoto-gosho dalam sehari tanpa harus tergesa-gesa.
[caption id="attachment_321628" align="aligncenter" width="300" caption="Kiyomizu-dera, salah satu ikon Kota Kyoto."]
Janjian dengan teman juga menuntut kita untuk tepat waktu. Terlambat adalah pantangan bagi semua orang di negara maju karena akan mengganggu jadwal kegiatan mereka pada hari itu. Maka bagi kita yang berasal dari negara berkembang yang suka ‘ngaret’, harus merubah perilaku ini. Selama berada di luar negeri, saya belajar untuk datang 15 menit lebih awal dari waktu pertemuan yang telah disepakati. Bila terpaksa terlambat, harus ada penjelasan yang masuk akal. Orang Jepang pula yang mengajarkan pada saya, boleh datang terlambat asal tidak lebih dari 10 menit. Tetapi sebelumnya harus ada pemberitahuan lewat telpon atau sms tentang alasan keterlambatan kita tersebut atau menjelaskan posisi kita sudah dekat dengan tempat pertemuan. Jangan salah loh, cara ini juga saya terapkan saat bergaul dengan teman-teman di dalam negeri.
Mencontoh Kedisiplinan Bangsa Lain
Masalah klise yang dihadapi bangsa Indonesia adalah ketidakdisiplinan dalam segala hal. Mungkin orang yang menaati aturan malah dibilang ‘nyleneh’. Lebih parahnya lagi, mereka selalu dikalahkan oleh orang–orang yang hobi melanggar tatanan, misalnya saat antri di depan loket. Penyerobotan giliran marak terjadi di negeri ini, tanpa mempedulikan orang-orang yang sudah lebih dulu menunggu. Ini tak terjadi di negara maju. Mereka memiliki sistem yang membuat warganya mau menaati peraturan yang berlaku, tidak hanya karena didukung oleh ancaman hukuman yang berat, tetapi juga masih kuatnya kontrol sosial. Rasa malu dikedepankan setiap orang untuk mencegah pelanggaran terhadap suatu peraturan.
[caption id="attachment_321630" align="aligncenter" width="300" caption="Warga Fukuoka naik eskalator dengan tertib."]
Sebagai contoh sepele adalah bagaimana orang-orang Jepang naik eskalator. Saat tinggal di Fukuoka, Jepang, saya menyaksikan tertibnya warga kota terbesar di Pulau Kyushu itu berdiri di atas eskalator. Sisi kiri eskalator yang diisi, sedangkan sisi sebelah kanan dibiarkan kosong supaya orang yang terburu-buru bisa lewat tanpa hambatan. Singapura, negeri jiran yang luasnya tak lebih besar daripada Jakarta tetapi bisa maju karena kedisiplinan warganya juga memberikan teladan yang patut kita contoh. Tempat-tempat di negara kota itu sangat bersih, tak tampak sampah berserakan di mana-mana. Bila tak menemukan bak sampah, warganya rela mengantongi sampah untuk dibuang di rumah. Mereka sadar untuk membuang sampah pada tempatnya, sehingga kenyamanan lingkungan senantiasa terjaga. Dua perilaku terpuji tersebut menginspirasi saya untuk dipraktikkan kembali saat pulang ke tanah air.
Mampu Mengelola Perbedaan
Bepergian ke luar negeri akan selalu dihadapkan pada perbedaan; apakah itu gaya hidup, budaya, tradisi, maupun agama. Dari semua itu, rasanya aspek gaya hiduplah yang membuat saya agak sensitif. Perbedaan gaya hidup yang sering membuat saya mengalami culture shock. Ada semacam kegamangan perasaan ketika terjebak pada pengalaman itu. Tetapi saya percaya bila perjalanan ke luar negeri akan terasa lebih bermakna apabila kita mampu mengelola segala perbedaan yang kita temui. Bila memang tak cocok dengan pandangan saya, tak perlu menunjukan rasa tidak suka melalui hujatan atau cibiran.
[caption id="attachment_321631" align="alignright" width="300" caption="Pesta Barbeque dengan teman-teman dari negara lain."]
Bagi saya yang seorang muslim, ‘cobaan’ yang saya hadapi ketika makan malam atau pesta bersama dengan orang-orang asing di negara lain adalah alkohol. Di sana, alkohol merupakan alat sosial untuk membangun keakraban. Biasanya orang yang mau minum bersama-kadang malah saling tantang seberapa kuat dalam mengkonsumsi alkohol, memberikan kesan mau membuka diri terhadap pergaulan. Saya agak berbeda pandangan mengenai hal ini. Tetapi untuk menolak tawaran minum, saya lakukan melalui jalan humor dengan tujuan agar tidak menyinggung. Misalnya, sambil tertawa-tawa, saya mengatakan I don’t wanna get burnt out in hell by my God kepada teman-teman yang mengajak saya minum. Sambil membalas tawa, mereka biasanya langsung paham terhadap maksud saya tersebut. Kami pun tetap nyaman duduk bersama dengan pilihan minuman masing-masing. Keterampilan sosial seperti itu sungguh diperlukan juga untuk kasus-kasus lain yang kurang sesuai dengan prinsip mendasar kita, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap orang lain.
Mendorong diri mempelajari bahasa dan budaya negara lain
Perjalanan terasa hambar ketika kita tidak paham mengenai bahasa dan budaya negara tujuan kunjungan. Sebelum keberangkatan, alangkah baiknya kita mendorong diri untuk belajar kedua hal tersebut meskipun terbatas pada hal-hal yang mendasar. Karena, pengetahuan terhadap bahasa dan budaya negara yang kita kunjungi akan membangun jembatan kedekatan emosional dengan penduduk setempat. Penduduk lokal akan lebih antusias dalam menyambut dan menerima kita, kalau kita tahu bahasa dan budaya mereka. Kata-kata yang dalam bahasa setempat semisal “selamat pagi”, “apa kabar”, “terima kasih”, “keren” dan “lezat” wajib dikuasai.
[caption id="attachment_321632" align="alignleft" width="300" caption="Makan malamnya "aroy mak mak"!"]
Kata favorit saya dalam bahasa Thai adalah “arroy mak mak” yang artinya enak bangeet! Diff, salah seorang sahabat dari Bangkok mengajarkan kata itu kepada saya. Setiap kali menyantap masakan Thai yang lezat saat berada di Negeri Gajah Putih, kata tersebut spontan terucap dari mulut saya. Sebenarnya kata ini kurang sopan untuk dilontarkan, tetapi karena kejenakaannya dalam penuturan, saya suka mengulanginya. Alhasil, siapapun yang mendengar akan tertawa. Tak terkecuali, seorang pelayan restoran yang mengantarkan makanan pesanan ke meja kami. Sungguh magis, si pelayan yang mengantar makanan tersebut terkejutmendapati orang asing seperti saya bisa mengucapkan bahasa Thai. Rupanya, bahasa yang sama membuat kita semua tak berjarak.
Kemauan belajar bahasa Jepang membantu saya keluar dari kesulitan dalam mencari hotel murah di Distrik Dotombori, Osaka, Jepang. “Sumimasen, Kono hen ha capsuru hoteru do ko ni arimasuka?” (Maaf, di sekitar daerah ini, di manakah letak hotel kapsul) tanya saya kepada seorang warga Osaka yang kebetulan melintas di depan saya. Tanpa merasa terganggu sedikitpun, ia bersedia membantu saya yang tampak kebingunan mencari satu-satunya hotel kapsul yang ada di distrik itu. Tak tahu letak hotel yang saya maksud, lantas ia membawa saya ke sebuah kantor polisi terdekat untuk memperoleh informasi. Ia membantu saya bertanya kepada seorang polisi yang tengah bertugas menjaga pos. Setelah mendapat cukup penjelasan, ia pun mau mengantar saya sampai pintu masuk hotel yang saya cari tersebut.
[caption id="attachment_321633" align="aligncenter" width="300" caption="Menjajal Yukata, pakaian musim panas Jepang."]
Pada akhirnya, kembali kepada diri kita sendiri apakah sebuah perjalanan yang kita lakukan akan memberikan makna mendalam atau tidak. Pejalan yang baik-sesuatu yang saya tekankan pada pribadi saya, tentunya akan menelaah setiap hal yang ditemuinya. Ia tak hanya terjebak pada gemerlap suasana yang ditawarkan di tempat tujuan atau pada ragam kuliner yang tak kuasa ditolak lidah. Sebuah perjalanan merupakan suatu ekspresi penghargaan terhadap budaya dan tradisi daerah ataupun negara lain, tambang inspirasi untuk menangkap kebaikan, serta upaya merajut persahabatan dengan orang-orang yang berlatar-belakang berbeda. Tak berlebihan bila sebuah perjalanan saya sebut sebagai “terapi jiwa”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H