Ketika kepala sudah begitu jenuh dengan hiruk pikuk perkotaan, saatnya mengecap suasana pedesaan sebagai terapi jiwa. Beruntung sekali saya bisa mendapatkan kesempatan itu sebulan sekali di kampung halaman saya di Yogyakarta. Biasanya, akhir pekan di sana tak hanya dihabiskan untuk  berdiam diri di rumah, tetapi juga menjelajah wilayah pedesaan. Salah satunya, Imogiri yang terletak sekitar 15 km arah tenggara Yogyakarta. Imogiri menawarkan suasana pedesaan yang masih terjaga. Berkunjung ke sana laksana mengaitkan kembali pada  akar kesukuan saya sebaga orang Jawa. Maklum , tinggal di Jakarta diakui atau tidak telah ‘menggerus’ identitas kultural saya.
Kangen selalu terasa untuk menyambangi Imogiri setiap kali pulang ke Yogyakarta. Karena itulah, sesekali saya sediakan beberapa jam. Kunjungan ke Imogiri  dibuka dengan ‘ziarah’ ke Makam Imogiri, tempat peristirahatan terakhir para raja Mataram dan dua kerajaan penerusnya; Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, yang terletak di atas sebuah bukit. Sebenarnya sih kalau dibilang ziarah juga kurang tepat  karena aktivitas yang dilakukan lebih banyak pada mengagumi suguhan arsitektur kuno jaman Mataram Islam dan kisah sejarah yang melingkupinya.  Untuk mencapai makam, saya bersama peziarah lainnya harus menapaki 375 anak tangga. Capek? Pasti, karena anak tangga ini cukup curam untuk didaki.  Konon, siapa  yang bisa menghitung jumlahnya dengan tepat, maka doanya akan terkabul. Ternyata banyak juga peziarah yang melakukan ritual ini secara khusyuk.
Tradisi berpakaian Jawa di lingkungan makam sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur masih diterapkan hingga kini. Terutama pada hari Senin, Jumat, dan Minggu saat peziarah diharuskan memakai baju lurik dipadu dengan jarik (kain panjang) atau bertelanjang dada dengan blangkon bagi laki-laki, dan jarik dan kemben bagi perempuan.  Dengan busana ini, peziarah bebas berkeliling ke tiga kompleks makam  penyusun Makam Imogiri untuk mendoakan arwah leluhur, yaitu Kasultan Agungan yang mengisi area tengah, Kasultanan Yogyakarta yang terletak sisi kanan komplek makam, dan Kasunanan Surakarta yang terletak di sisi kiri komplek makam. Sayangnya, suasana sakral ini terusik oleh banyaknya sampah yang ditinggalkan para peziarah begitu saja di sembarang tempat. Tampaknya, hal ini harus mendapatkan perhatian serius dari pengelola makam.
Momen khusus, seperti malam Jumat Legi dalam penanggalan Jawa, Idul Fitri, ataupun saat diselenggarakannya upacara Kuras Enceh menarik ribuan peziarah.  Khusus untuk Kuras Enceh, ritual ini selalu dinantikan oleh masyarakat luas untuk ngalap berkah. Kuras Enceh diselenggarakan untuk menguras dan mengisi kembali enceh (gentong) yang terletak di depan makam Sultan Agung. Empat buah gentong yang  konon merupakan hadiah dari kerajaan Sumatera, Aceh, Romawi, dan Thailand tersebut dikuras dan diisi lagi dengan air hingga luber. Uniknya, luberan air inilah yang diperebutkan oleh para peziarah untuk mendapatkan berkah.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/22/pecel-wedang-uwuh-55aefc0cdb937387048b4569.jpg?v=400&t=o?t=o&v=770)
Wedang Uwuh menjadi penutup sempurna santap Pecel Kembang Turi.  Segar rempah langsung terasa di tenggorokan saat pertama kali meneguk minuman tradisional ini. Uwuh dalam bahasa Jawa berarti sampah dedaunan. Seperti namanya, wedang ini memang terdiri atas racikan beragam herba yang telah dikeringkan seperti daun cengkih, daun pala, daun manis jangan, serutan kayu secang, dan jahe.  Kesemua bahan tersebut diseduh dengan air panas bersama gula batu untuk menghasilkan sebuah minuman rempah berwarna merah. Khasiatnya bisa meredakan capek dan mencegah masuk angin. Cocok  bagi saya yang telah melakukan perjalanan jauh dari Jakarta ke Yogyakarta untuk berakhir pekan. Untuk menikmati segelas wedang ini, saya hanya perlu merogoh kocek sebesar Rp3.000,00. Murah bukan?. Tak lupa, Wedang Uwuh dalam kemasan juga saya beli sebagai oleh-oleh untuk keluarga.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/22/batik-sungsang-55aefd8e597b61b80528dac6.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/22/batik-imogiri-55aefdbc597b61a30528dac7.jpg?v=400&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/22/anjas-55aefdecd492732306cec442.jpg?v=400&t=o?t=o&v=770)
Daging kambing sebagai bahan Sate Klatak hanya dibumbui dengan taburan garam dan ketumbar. Meskipun sederhana, rasanya cukup menggoyang lidah dan tidak amis sama sekali. Tetap sedap disantap dengan sepiring nasi putih hangat dan kuah gulai yang memberikan cita rasa rempah yang harum. Seporsi Sate Klatak dibandrol dengan harga Rp15.000,00.  Untuk minumnya, saya pesan jeruk peras hangat dengan gula batu.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/22/sate-klatak-55aefcf0b27a6198271e24b9.jpg?v=400&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/07/22/senja-55aefd28597b61b20528dac6.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)