Iklim kepercayaan investasi terhadap pemerintah Indonesia sedang tidak baik, terutama kepercayaan terhadap cara kerja Menteri Erich Thohir memetakan persoalan dan langkah langkah menyelesaikan kasus Jiwasraya. Persoalan yang telah ada sebelum Pilpres dan tenggelam oleh hiruk pikuk Pilpres.
Langkah aksi korporasi yang dilakukan oleh Erick Thohir dengan membuat anak perusahaan baru adalah jawaban secara korporasi. Aksi ini seperti membuat membuat cangkang baru, bukan membenahi Jiwasrayanya. Sedangkan untuk korban yang mengalami kerugian dengan produk JS Saving Plan belum mendapatkan kepastian pengembalian dana.
Beberapa kali nasabah mencoba meminta kepastian terhadap Menteri BUMN, baik kepada Rini Soemarno maupun Erick Thohir. Dan sampai saat ini belum ada kepastian hak nasabah Jiwasraya yang dananya di maling oleh kejahatan kerah putih. Tentu ini indikasi bahwa ada persoalan besar.
Beberapa pakar keuangan dan bisnis melihat ini adalah sebuah kejahatan sistematis, terencana dan terukur (STS). Kerja yang melibatkan banyak pakar dan profesional bidang keuangan, investasi dan lembaga. Diantaranya OJK yang bertugas mengawasi dan ternyata dikibuli.
Secara kelembagaan negara ada unsur kelalaian ditingkat Menteri BUMN. Sebab Jiwasraya pasti memiliki komisaris yang ditunjuk untuk memastikan Jiwasraya memberikan untung atas Penyertaan Modal Negara.Â
Apalagi kejadian mega korupsi Jiwasraya yang terindikasi STS dimulai dari tahun 2016. Mulai terkuak kepublik tahun 2017, 2018 dan membuncah kepublik 2019. Dan sampai saat ini sikap bertanggungjawab dan siapa pelakunya masih belum ditentukan oleh penegak hukum oleh Kejaksaan Agung.
Apalagi Pimpinan KPK secara gamblang menyatakan ini bukan jangkauan KPK. Dan jika dengan tenang melihat persoalan ini Jiwasraya dan pergerakan para Direksi menjadi bagian lingkaran Istana. Maka terang benderang bahwa asumsi ini adalah perampokan besar terhadap BUMN yang merugikan nasabah yang tersebar dari Korea Selatan, Singapura, Malaysia dan tentu Indonesia.
Dan tentu hal ini menjadi pilar rontok dari dalam dan berimbas kepada resesi kepercayaan rakyat Indonesia dan negara Asean dan Asia. Apalagi resesi global menghantui dan siap menghancurkan ekonomi dunia. Dan Indonesia termasuk negara G 20 yang diharapkan menjadi pilar penyangga ekonomi dunia.
Namun amat disayangkan, pilar itu mulai pecah dan berserakan akibat mega korupsi Jiwasraya oleh penjahat berbaju politik. Sebab, banyak para politisi pendukung dalam Pilpres memilih diam dan sedikit bersuara secara normatif. Dan daya dorong secara politik, PDIP, Nasdem, Golkar, PKB dan PPP tidak kencang dan menggema. Malah Puan Maharani dari PDIP lebih menyoroti persoalan Natuna.
Inilah pertanyaan publik yang mesti dijawab oleh Politisi yang barang kali tidak mengetahui dari masa asal dana opersional ketika Pilpres untuk berkampanye memenangkan konstestasi pemilihan Presiden dan Partai yang menguasai DPR RI.
Apalagi kabinet sekarang berasal dari pentolan dan pendukung utama. Dan Menteri BUMN Erick Thohir adalah penikmat hasil perjuangan. Sangat wajar pernyataan Erick Thohir tidak serenyah dan bahagia ketika membuka penyelundupan oleh Direksi Garuda. Seperti ada beban dikepala dan menyakinkan untuk bertanggungjawab secara kebijakan menyelesaikan kasus mega korupsi Jiwasraya.