Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un..
Patmi, seorang perempuan berusia 45 tahun, asal Desa Larangan, Kecamatan Tambakromo, Kabupaten Pati, meninggal dunia pada selasa, 21 Maret 2017, pukul 02.55 dini hari.
Patmi adalah salah satu peserta aksi cor kaki di depan Istana Negara yang menolak keberadaan pabrik Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah. Kata dokter Rumah Sakit St. Carolus, Patmi meninggal mendadak karena serangan jantung. Dugaan lainnya karena ada masalah dengan aliran darah di tubuhnya.
Sebelumnya, pada jum’at (17/3), Tim Dokter dari RSCM yang datang bersama Deputi II Bidang Kajian dan Pengelolaan Program Prioritas merekomendasikan untuk menghentikan aksi cor kaki dengan alasan dapat mengancam kesehatan. Jauh sebelum itu, Wicaksono Narendro Utomo, salah satu Dokter Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, yang menjadi Tim Kesehatan pendamping aksi cor kaki, pada Senin (13/3) sudah mewanti-wanti aksi tersebut sangat berbahaya jika dilakukan dalam waktu yang lama.
Menurutnya, kondisi kaki dibelenggu beton semen mengakibatkan aliran darah ke seluruh tubuh menjadi tidak normal, terutama yang menuju ke kaki. Wicaksono memperkirakan kondisi peserta aksi hanya bisa bertahan selama lima hari. Jika lebih dari itu, maka akan mengancam keselamatan. Terbukti, pada selasa dini hari, sejarah telah mencatat aksi cor kaki telah merenggut nyawa salah satu pesertanya.
Peristiwa ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi para LSM yang banyak melibatkan perempuan dalam aksi penolakan pabrik semen di Rembang. Keprihatinan yang digembar-gemborkan oleh LBH, Walhi, Komnas Perempuan, dan LSM lainnya yang sok peduli hanyalah omong kosong belaka. Mungkin, bagi mereka suara toa di depan istana lebih berharga ketimbang nyawa yang “dipaksa” memasung kaki dengan semen.
Kematian Patmi harus menjadi tanggungjawab LSM dan provokator yang mengaku peduli di atas kepentingannya sendiri. Para peserta aksi itu bukan boneka yang bisa dijadikan objek pengambilan foto lalu dibumbui dengan tulisan drama penuh kepalsuan. Lebih ironis lagi, para peserta aksi yang rela mengecor kakinya dan mempersembahkan nyawanya itu juga tidak mengerti kepentingan apa yang ada di balik semangat juang para LSM dan penyuruhnya.
Selain LSM, koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), Joko Prianto, dan orang yang paling getol menolak Semen di Rembang, Gunretno, juga harus bertanggung jawab atas kematian Patmi.
Joko Prianto, dengan pongahnya bahkan mengancam akan menambah petani dan warga untuk ikut serta mengecor kaki. Langkah ini dilakukan sampai ambisinya bertemu presiden terpenuhi utk mencabut izin berdirinya pabrik Semen di Rembang.
Padahal, Presiden Jokowi sendiri tidak akan mencabut izin yang diterbitkan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Sebab hal itu merupakan wewenang dan kebijakan pemerintah daerah. Lantas, apakah tidak mubadzir dan sia-sia aksi cor di depan istana negara tersebut? Apakah Joko Prianto menyadari bahwa aksinya salah sasaran?
JMPPK dalam hal ini Joko Prianto, Gunretno, LBH, Komnas Perempuan, Walhi dan LSM lain yang terlibat dalam aksi tersebut, telah melakukan pengabaian terhadap keselamatan peserta aksi. Sikap “biarkan saja” atas kematian Patmi ini merupakan kejahatan nyata. Tindakan memasung semen berhari-hari dengan resiko menerima badan yang sangat Lelah, menderita insomia, sesak napas, lemah otot, berkeringat dan pusing serta perasaan tidak nyaman di dada, merupakan bagian dari kelalaian yang tidak diperhitungkan oleh perencana dan peserta aksi.