Mohon tunggu...
Anjar Setio Mukti
Anjar Setio Mukti Mohon Tunggu... Mahasiswa - mulai aktif nulis lagi yuk

20

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sejarah Suku Amungme, Pemilik Emas Berlapis Tanah yang Dijarah Pihak Asing

11 April 2021   08:17 Diperbarui: 11 April 2021   08:38 1461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: suarapapua.com & mitologi.fandom.com

Sudah bukan rahasia umum jika berbicara tentang tanah Papua. Kita semua mungkin sudah tahu, sejak puluhan tahun lalu hingga sekarang, tanah Papua telah menjadi korban bagaimana serakahnya para penguasa. Wilayah yang terkenal dengan keindahan alamnya itu kini perlahan terkikis habis akibat dikeruknya tanah-tanah mereka. Tanah yang menyimpan harta amat berharga. Lebih tepatnya emas berselimut tanah. Apakah kalian tahu siapa pemilik sebenarnya tanah penghasil emas itu? Yap, Mereka adalah Suku Amungme, suku yang paling dirugikan. Suku Amungme adalah kelompok pemilik hak ulayat atas tanah yang kini dikeruk oleh PT pertambangan yang bernama Freeport.

Suku Amungme sejak turun-menurun telah mendiami kawasan di area sekitar penambangan PT. Freepot. Namun sayangnya, keberadaan mereka sudah tidak nampak atau bisa dikatakan tak berdaya di hadapan orang asing yang beroprasi di sana. Hal itu yang kini membuat Suku Amungme terabaikan dan terasingkan dari tanah mereka sendiri.

Kilas balik jauh sebelum Freeport datang, Suku Amungme telah mendiami sekitaran lembah Waa. Wilayah itu kini menjadi daerah pertambangan emas dan tembaga secara turun menurun. Padahal secara resmi, haknya sebagai pemilik tanah ulayat ini diakui oleh pemerintah berdasarkan undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria.

Pada tahun 1967 PT. Freeport resmi menandatangani kontrak dengan Pemerintah Indonesia. Dari situ lah awal mula Freeport melakukan eksplorasi tambang Erstberg selama bulan Januari-September dan pada bulan Desember, semua perizinannya telah diselesaikan. Apakah kalian tahu? Semua itu dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari Masyarakat Suku Amungme terlebih dahulu yang tak lain dan tak bukan merupakan pemilik tanah ulayat sebenarnya. Suku Amungme yang seharusnya hidup sejahtera dari hasil alamnya itu kini harus menerima kenyataan yang sebaliknya. Emas dan tembaga hanya isapan belaka dan terganti dengan air mata.

Setelah Suku Amungme diberikan janji-janji dan akan diberikan kesejahteraan, akhirnya mereka rela melepas tanah, hutan, dan hasil bumi yang mereka tempati untuk di olah. Kepala Suku besar Amunge, Tuarek Natkime sangat mengharapkan orang-orang kulit putih atau para penguasa Freeport, mau berbagi atas hasil tambang yang merupakan kekayaan alam mereka. Namun pada kenyataannya, hingga saat ini, semua itu hanya janji kosong belaka dan tak pernah mereka rasakan sedikit pun.

Bahkan naasnya lagi, Suku Amungme harus cabut dari wilayah mereka sendiri yang telah mereka diami selama turun menurun. Para penduduk Suku Amungme akhirnya terusir oleh PT. Freeport yang mulai melakukan penggundulan hutan. Kini Suku Amungme hanya bisa melihat tanah adat yang mereka diami selama turun temurun itu bersalin dan berubah menjadi kota Tembagapura dan pemukiman bagi karyawan PT. Freeport.

Setelah melihat kenyataan yang demikian, Tuarek Natkime sebagai tokoh masyarakat Suku Amungme mengucapkan sebuah kata-kata yang menyayat hati. Ucapan beliau kurang lebih seperti ini
“Saya selalu bertanya kepada Tuhan dalam pikiran dan doa-doa saya setiap hari, mengapa Tuhan menciptakan gunung, batu, dan salju yang indah ini di daerah Suku Amungme? Jika itu alasanmu, lebih baik musnahkan kami, punahkan saja kami agar mereka bisa mengambil dan menguasai semua yang kami miliki, tanah kami, gunung kami, dan setiap penggal sumber daya kami.”
Ungkapan seorang pemimpin yang sangat bisa dirasakan bagaimana pedih, kecewa, dan rasa bersalah yang beliau rasakan terhadap apa yang terjadi pada wilayah dan rakyatnya.

Sampai saat ini, Suku Amungme masih tetap bernasib sama seperti dahulu. Tidak ada yang berubah sedikit pun, meski pada kenyataannya tanah mereka mampu memberikan kesejahteraan pada masyarakat di luar Papua, bukan mereka. Sedihnya lagi, sebagian besar dari itu semua bukan milik Indonesia, namun negara lain. Kita hanya mendapatkan sebagaian kecil dari apa yang kita miliki, lantas apa kabar dengan Suku Amungme?

Mereka hanyalah penonton di rumah sendiri dan hanya penglihat bukan penikmat. Entah apa saja yang telah dirasakan oleh Suku Amungme. Yang jelas kehadiran Freeport memberikan dampak sosial dan psikologis bagi kehidupan sosial mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun