Mohon tunggu...
Anjali Sabna
Anjali Sabna Mohon Tunggu... Editor - Studi Agama Agama UIN Imam Bonjol Padang

Hobi saya olahraga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belenggu Perempuan dalam Tradisi Kuno India

18 Juli 2023   12:43 Diperbarui: 18 Juli 2023   12:46 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perihal tradisi yang masih di langgengkan oleh beberapa kelompok masyarakat India dan keturunan India.

Jika berbicara perempuan dalam tradisi India maka akan sangat bercengkrama dengan frasa 'diskriminiasi' 'ketidakadilan' 'ketertindasan' 'penghinaan' 'kekerasan' dan 'ketimpangan'. Dalam era modern seperti saat ini, perempuan masih tidak diberi ruang dalam membangun identitasnya sendiri.

Ketidakberuntungan selalu menggandeng perjalanan anak perempuan dalam tradisi ini. Hal itu juga diungkapkan oleh sosok ahli berasal dari India, Renate Syed yang menelusuri studi di Universitas Ludwig-Maxiillian, Munchen bahwa sepanjang sejarah dan tradisi India, perempuan tidak diizinkan untuk memilki identitasnya sendiri, perempuan selalu dilihat sebagai 'anak' atau 'istri' dari seorang pria. Perempuan juga dianggap 'tidak bijaksana' dibandingkan dengan pria yang selalu di dukung dengan anggapan 'bijaksananya'.

Sehingga perempuan selalu dianggap rendah dan  tidak dipercaya mengambil peran-peran penting meskipun itu berkaitan dengan kehidupan personalnya. Sampai saat ini ruang gerak perempuan masih saja di atur dan dibatasi. 

Perihal pendidikan misalnya, perempuan tidak didorong ataupun didukung dalam menelusuri lebih lanjut tingkat pendidikannya. Bahkan selalu saja muncul ungkapan-ungkapan dari pihak patriarki atau berasal dari kaum perempuan itu sendiri. Ungkapan tersebut misalnya seperti 'Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya bakal di dapur juga' atau tidak jarang mereka juga mengatakan 'Jangan sekolah tinggi-tinggi nanti ngga ada yang mau sama kita'.

Gambaran perempuan yang mencoba untuk meningkatkan dirinya melalui pendidikan dianggap sebuah hal yang tabu. Tidak adanya dukungan menjadikan pendidikan bagi perempuan tidak terlalu di prioritaskan. Sehingga tidak sedikit perempuan dalam tradisi ini lebih memprioritaskan perjodohan yang telah di atur oleh orang tuanya. Mencoba untuk memperjuangkan hak wanita dalam mengembangkan diri, bebas mengekspresikan personalnya dan berusaha untuk mendapatkan ruang dalam bersuara dan mengambil peran dalam keputusan apapun merupakan sebuah tantangan besar bagi sosok perempuan yang masih terikat dalam tradisi ini. Tentu saja perempuan seperti ini akan dijadikan sebagai bahan cemooh hingga tidak jarang juga akan di labeli sebagai 'pemberontak' dan 'perempuan nakal'.

Dengan mengubah mental model dalam tradisi ini merupakan sebuah perkara yang tentunya sulit secara instan untuk dilakukan namun hal ini tidak menutup kemungkinan akan berubah bila dilakukan secara berkala dan terus dikampanyekan.Tidak ada yang salah hidup di dalam tradisi, tapi akan menjadi sesuatu yang salah bila harus merebut hak seseorang sebagai manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun