Mohon tunggu...
Veeramalla Anjaiah
Veeramalla Anjaiah Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan senior

Wartawan senior

Selanjutnya

Tutup

Money

Indonesia Bisa Meniru Vietnam di Bidang Manufacturing

30 Mei 2015   18:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:27 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Negara Asia Tenggara manakah yang menjadi pengekspor terbesar ke Amerika Serikat (AS) tahun lalu? Kebanyakan orang spontan berpikir tentang Singapura atau kekuatan manufaktur regional lainnya seperti Malaysia dan Thailand sebagai jawabannya. Ternyata, jawabannya keliru. Negara pengekspor terbesar ke AS adalah Vietnam, negara yang dahulunya merupakan musuh bebuyutan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam. Vietnam mengekspor barang senilai USD28,64 miliar (berdasarkan data Badan Sensus AS, nilai sesungguhnya mencapai USD 30,58 miliar) ke pasar AS, yang merupakan perekonomian terbesar dunia, pada tahun 2014. Sementara Indonesia, perekonomian terbesar Asia Tenggara dan anggota G-20, hanya mengekspor barang senilai USD16,52 miliar ke AS pada periode yang sama.

Akibat krisis keuangan global, kemunduran di Cina, dan rendahnya harga komoditas, besaran ekspor Indonesia terus-menerus mengalami penurunan sejak tahun 2011, dari USD203,49 miliar pada tahun 2011 hingga USD176,29 miliar pada tahun 2014, menurut laporan para pejabat yang berkepentingan. Tahun lalu, nilai ekspor Indonesia menurun 3,43 persen, menjadi USD176,29 miliar dari USD182,55 miliar pada tahun 2013. Yang mencengangkan adalah Vietnam dan Indonesia memproduksi barang yang relatif sama, menghadapi tantangan yang serupa, dan bersaing di pasar luar negeri yang sama. Namun, nilai ekspor Vietnam terus bertumbuh dalam hitungan puluhan sejak tahun 2011. Besaran ekspor Vietnam naik tajam, dari USD96,91 miliar pada tahun 2011 menjadi USD150,21 miliar pada tahun 2014, berkat peningkatan luar biasa nilai ekspor telepon genggam canggih, barang-barang elektronik, tekstil, dan sepatu.

Pada tahun 2013, Vietnam mengekspor telepon genggam canggih, komputer, dan barang elektronik lainnya senilai USD32,2 miliar. Nilai ekspor barang-barang ini meningkat semakin tinggi pada tahun 2014, menjadi USD35,2 miliar. Kontributor terbesar kedua untuk ekspor Vietnam adalah tekstil dan sektor garmen, yang besarannya mencapai USD20,91 miliar pada tahun 2014. Negara yang jumlah penduduknya terbesar ketiga di Asia Tenggara ini juga mengekspor sepatu dan perlengkapannya senilai USD10,32 miliar tahun lalu. Jika kecenderungan ini terus berlanjut, nilai ekspor total Vietnam akan mampu melampaui Indonesia hanya dalam dua tahun saja. Saat ini, selisih nilai ekspor kedua negara hanya terpaut USD26,08 miliar. Vietnam juga sedang melaju menuju situasi yang nilai ekspornya mungkin akan melampaui nilai Produk Domestik Bruto-nya, yang saat ini bernilai USD180 miliar.

Kunci pesatnya pertumbuhan ekspor Vietnam adalah investasi dalam jumlah besar dari perusahaan-perusahaan manufaktur asing, yang saat ini menyumbang sekitar 65 persen total ekspor Vietnam. Sebagai contoh, nilai ekspor terkait FDI (foreign direct investment), menurut data Departemen Bea Cukai Vietnam, sebesar USD93,95 miliar dari total ekspor negara sejumlah USD150,21 miliar pada tahun 2014. Indonesia bisa jadi merupakan pasar terbesar untuk Samsung, produsen elektronik Korea Selatan, tetapi Vietnam adalah basis produksi terbesar bagi telepon genggam canggih keluaran perusahaan tersebut. Menurut Menteri Perencanaan dan Investasi Vietnam, sejauh ini Samsung telah menginvestasikan USD12,6 miliar di Vietnam dan ini kemungkinan masih akan meningkat hingga USD20 miliar pada tahun 2017. Beberapa perusahaan raksasa Amerika, seperti Ford, Apple, Intel, dan General Electrics berinvestasi besar-besaran di Vietnam. Demikian juga dengan perusahaan-perusahaan Eropa dan Asia. Tidak ketinggalan, perusahaan-perusahaan ASEAN pun menggelontorkan miliaran dolar uang mereka ke Vietnam.

Investasi kumulatif para investor dari ASEAN, menurut Badan Penanaman Modal Asing Vietnam, mencapai lebih dari USD54 miliar dalam 2.600 proyek di Vietnam sampai dengan April 2015. Tahun lalu, Vietnam menerima USD20,22 miliar dalam bentuk FDI, meningkat 9,6 persen daripada tahun sebelumnya. Meskipun Indonesia menerima FDI dalam jumlah yang jauh lebih besar, senilai USD28,32 miliar pada tahun 2014, kenyataan ini tidak membantu mendorong Produksi Domestik Bruto dan ekspor. Dalam hal pertumbuhan Produksi Domestik Bruto, Vietnam baru-baru ini mengungguli Indonesia. Perekonomian Indonesia melambat hingga 4,71 persen pada triwulan pertama 2015, percepatan pertumbuhan terendah sejak 2009. Alasan utama penurunan di antaranya adalah rendahnya belanja pemerintah, penurunan belanja konsumsi, pelemahan rupiah, dan inflasi yang tinggi. Pada tahun 2014, perekonomian Indonesia bertumbuh 5,02 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai 5,58 persen pada tahun 2013.

Dengan melampaui semua prediksi, ekonomi Vietnam tumbuh 6,03 persen pada triwulan pertama tahun 2015. Dengan mengemukanya ekspor dan FDI, Vietnam membukukan rasio pertumbuhan GDP sebesar 5,98 persen pada tahun 2014, mengalami kenaikan tipis dari 5,42 persen pada tahun 2013. Antara tahun 2000 ̶ 2010, rata-rata rasio pertumbuhan tahunan Vietnam berada pada angka 7 persenan. Selagi performa ekonomi suram menghantui Indonesia tahun ini dan tahun-tahun ke depan, institusi-institusi keuangan global seperti Bank Dunia, IMF, Bank Pembangunan Asia, dan HSBC memperkirakan masa depan yang cerah untuk Vietnam. Perekonomian negara ini diprediksi dapat tumbuh 6 persen pada tahun 2015, 6,2 persen pada tahun 2016, dan 6,5 persen pada tahun 2017.

Pada tahun ini, Vietnam kemungkinan menandatangani perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan Uni Eropa dan bergabung dengan proses Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). Jika kedua hal ini tercapai, perekonomian Vietnam, termasuk juga ekspornya, akan menerima dorongan yang sangat besar. Secara mengejutkan, Vietnam sanggup memotong rasio inflasi dari 32,28 persen pada tahun 2012 menjadi hanya 4,09 persen pada tahun 2014. Vietnam mencatat 0,04 persen inflasi pada empat bulan pertama tahun 2015, angka terendah dalam beberapa tahun belakangan. Vietnam bukanlah tandingan bagi Indonesia. Namun demikian, Vietnam yang datang belakangan menunjukkan performa yang lebih baik daripada Indonesia di banyak bidang.

Apakah alasan utama di balik kebangkitan Vietnam yang tiba-tiba ini? Yang utama adalah negara berpenduduk hampir 100 juta ini memiliki banyak sumber daya alam dan setengah dari populasinya berusia muda. Anak-anak muda ini kebanyakan mengenyam pendidikan memadai dan melek teknologi. Alasan lainnya adalah lokasi geostrategis Vietnam. Negara ini berbatasan dengan Cina, perekonomian terbesar kedua di dunia. Letak Vietnam juga berdekatan dengan jalur perkapalan internasional paling sibuk di satu sisi dan dekat secara geografis dengan negara-negara ekonomi maju, seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, dan Taiwan. Bisa dikatakan bahwa Vietnam terletak di pusat kawasan Asia-Pasifik. Vietnam juga memiliki sejumlah pelabuhan internasional yang megah. Vietnam memiliki semua potensi yang memungkinkan negara ini menjadi salah satu ekonomi dunia dengan pertumbuhan tertinggi.

Upah tenaga kerja yang rendah merupakan daya tarik utamanya. Upah tenaga kerja rata-rata, menurut data Organisasi Buruh Internasional, jauh lebih rendah daripada Cina, Thailand, dan Indonesia. Upah minimum di Vietnam berkisar antara USD110 ̶ 160 per bulan dan rata-rata upah pekerja sebesar USD197 per bulan, sementara di Cina mencapai USD613 dan di Thailand sebesar USD391. Di Jakarta, upah minimumnya sebesar USD200.

Hal penting lainnya adalah "faktor Cina". Selepas ledakan besar di sektor manufaktur Cina selama hampir tiga dekade, kebanyakan perusahaan asing di Cina kini menghadapi begitu banyak penyempitan kesempatan.

Kenaikan upah, pergeseran besar pada fokus pemerintah dari barang-barang ekspor murah kepada produk-produk teknologi tinggi, mengutamakan perusahaan-perusahaan teknologi lokal dan ketegangan geopolitik yang makin meningkat, telah membawa pengaruh buruk bagi banyak perusahaan manufaktur padat karya di Cina. Mereka membutuhkan surga yang lain, namun tetap dekat dengan Cina dan negara-negara Asia Timur lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun