Oleh Veeramalla Anjaiah
Sejak Hamas memulai konflik saat ini di Gaza, Pakistan, sebuah negara mayoritas Muslim, telah menanggapi perang Israel-Hamas dengan nada yang sangat terukur, menonjol di antara negara-negara mayoritas Muslim di Asia. Namun meski negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia dengan tegas menyalahkan kebijakan Israel atas konflik tersebut, yang mengejutkan adalah Pakistan sejauh ini mengambil pendekatan yang lebih lunak, demikian yang dilaporkan saluran berita Al Arabiya Post.
Pakistan atau "tanah bagi orang yang suci", yang merupakan pengkritik keras Israel, selalu menggambarkan dirinya sebagai pejuang perjuangan Palestina. Tepat setelah memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1947, Pakistan berusaha memasok tentara dan persenjataan dalam Perang Palestina tahun 1948 dan kemudian Angkatan Udara Pakistan berpartisipasi bersama pasukan Arab dalam "Perang Enam Hari" pada tahun 1967 serta dalam "Perang Yom Kippur" di tahun 1973.
Di paspor Pakistan masih tertulis "Paspor ini berlaku untuk semua negara di dunia, kecuali Israel." Menurut Al Arabiya Post, dukungan Pakistan terhadap Palestina tidak tulus, tidak lebih dari seruan populer bagi seluruh warga Pakistan.
Ketika perang di Gaza pecah tahun lalu pada bulan Oktober, Perdana Menteri Sementara Pakistan Anwaar ul Haq Kakar telah memposting di X bahwa ia "patah hati" akibat kekerasan tersebut.
"Kami mendesak pengekangan dan perlindungan terhadap warga sipil. Perdamaian abadi di Timur Tengah terletak pada solusi dua negara dengan Negara Palestina yang berkedaulatan dan berkelanjutan," cuit Kakar.
Bahkan Molana Fazal ur Rehman, kepala Jamiat Ulema-e-Islam (F) --- partai politik Islam terkemuka di Pakistan --- meminta Palestina untuk menghormati hak asasi manusia Israel. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya, karena para pemimpin Islam di Pakistan terkenal dengan pendirian mereka yang pro-Palestina.
Kakar bukanlah orang pertama yang menunjukkan pendekatan yang lebih lembut terhadap Israel. Pada tahun 2021, Presiden Pakistan Arif Alvi memicu kontroversi dengan mengusulkan "solusi satu negara" terhadap masalah Palestina yang sangat menyimpang dari kebijakan yang sudah ada, sehingga mendorong pemerintah sementara untuk menjauhkan diri dari pernyataan tersebut dan menyerukan pengunduran dirinya.
"Jika solusi dua negara tidak dapat diterima oleh Israel, maka solusi satu negara adalah satu-satunya cara di mana orang-orang Yahudi, Muslim dan sejumlah besar orang Kristen dapat hidup untuk menjalankan hak-hak politik yang setara," kutip siaran pers asli dari perkataan Alvi, sebagai penasihat Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Semua ini menunjukkan adanya perubahan kebijakan luar negeri Pakistan terhadap Israel.