Tiga tahun lalu, tepatnya tanggal 5 Agustus 2019, pemerintah India menghapus status khusus Jammu dan Kashmir (J&K) berdasarkan Pasal 370 Konstitusi India, yang dilakukan melalui DPR.
Sebelum kemerdekaan India pada tahun 1947, J&K adalah wilayah kerajaan (princely state) yang kemudian penguasanya putuskan untuk bergabung dengan India setelah milisi suku Pashtun yang didukung oleh militer Pakistan menyerang dan melancarkan teror di negara bagian tersebut.
Penguasa J&K dan pemimpin rakyat Kashmir Sheikh Mohammed Abdullah memilih India sebagai pilihan mereka daripada Pakistan yang mayoritas Muslim. Perdana Menteri India saat itu Jawaharlal Nehru telah setuju untuk memberikan status khusus kepada J&K berdasarkan Pasal 370. Pasal 35A ditambahkan pada tahun 1954. Kedua pasal ini memberikan status khusus kepada J&K. Layaknya dua sistem dengan bendera dan yurisdiksi terpisah di satu negara.
Banyak orang India tidak menyukai status khusus untuk J&K. Perdana Menteri India Narendra Modi, yang telah menjabat sejak 2014, dan partainya Partai Bharatiya Janata (BJP) menginginkan Satu Bangsa, Satu Konstitusi dan Satu Bendera. Maka dari itu, status khusus J&K dicabut.
Setelah pencabutan Pasal 370 dan Pasal 35A, J&K disetarakan dengan semua negara bagian dan Wilayah Persatuan lainnya di India. Tetapi J&K dibawa di bawah kendali langsung New Delhi karena J&K telah menjadi Wilayah Persatuan, bukan negara bagian.
Perubahan langsung yang bisa kita lihat di J&K selama tiga tahun terakhir ini adalah situasi keamanan yang membaik.
"Ada perubahan besar di Kashmir setelah pencabutan Pasal 370. Sekarang tidak ada pelemparan batu, hartals [mogok] dan bandh [penutupan total]. Semua ini telah menjadi bagian dari masa lalu. Pasukan keamanan berkomitmen untuk memulihkan perdamaian sepenuhnya di Lembah itu," kata Letnan Gubernur J&K Manoj Sinha dalam sebuah wawancara dengan TV18 News Network baru-baru ini.
Sinha mengatakan pasukan keamanan jelas telah menang atas militansi tetapi hanya sedikit nyawa tak berdosa yang hilang yang sangat disayangkan.
"Orang-orang ingin tidak ada insiden yang terjadi di Jammu dan Kashmir. Jika kita mengambil data 20 tahun terakhir, Anda akan melihat berapa banyak nyawa tak berdosa yang hilang. Namun, tahun ini, pasukan keamanan dan polisi telah membunuh jumlah tertinggi 130 militan termasuk 37 orang asing sejauh ini. Jika ada sedikit ketakutan di antara orang biasa, itu juga akan disingkirkan," ujarnya.