Oleh Veeramalla Anjaiah
Ada pepatah aneh dalam bahasa Latin: "Igitur qui desiderat pacem, praeparet bellum." Artinya "Jika ingin damai, bersiaplah untuk perang." Ungkapan ini berasal dari buku Epitoma Rei Militaris, oleh Publius Flavius Vegetius Renatus.
Indonesia mungkin mengikuti ungkapan Latin ini, mengingat meningkatnya ketegangan antara Amerika Serikat dan China di satu sisi dan agresivitas China di Laut China Selatan (LCS) di sisi lainnya.
Indonesia bukan penuntut di LCS. Namun China mengklaim sebagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara berdasarkan Peta Sembilan Garis Putus yang kontroversial, yang tidak memiliki dasar hukum. China mengklaim lebih dari 90 persen LCS.
Taiwan, Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam juga mengklaim bagian-bagian tertentu di LCS berdasarkan aturan maritim internasional.
Menurut pakar pertahanan terkemuka Indonesia Andi Widjajanto, China, negara adidaya yang sedang bangkit, bertekad untuk melaksanakan rencana strategis 70 tahunnya (1980-2050) untuk menguasai dunia.
Andi, pakar kelautan dan mantan Sekretaris Kabinet pada periode pertama Presiden Joko Widodo, mengatakan bahwa rencana China memiliki tiga tahap. Mereka telah berhasil menyelesaikan fase pertama dari tahun 1980-2000 dan fase kedua dari tahun 2000 hingga 2020.
"Pada tahap kedua, rencana strategis China dari tahun 2000 hingga 2020 adalah memproyeksikan kekuatan militernya dan memenangkan perang di LCS," kata Andi.
Pada fase kedua, China telah muncul sebagai kekuatan militer terbesar ketiga di dunia setelah AS dan Rusia dan mengeluarkan biaya terbesar kedua untuk militer.
Menurut beberapa pakar militer, pengeluaran militer China tahun ini akan melampaui AS$300 miliar, masih jauh di bawah $715 miliarnya AS untuk tahun 2022.
Menurut Peringkat Kekuatan Militer 2022 Global Fire Power, China telah melampaui AS dalam jumlah total pasukan aktif, kapal perang, fregat dan armada kapal selam.