Mohon tunggu...
Veeramalla Anjaiah
Veeramalla Anjaiah Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan senior

Wartawan senior

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Beijing Mengkhianati Duterte, Ingin Mengambil Alih Whitsun Reef Filipina?

30 Maret 2021   19:07 Diperbarui: 2 April 2021   17:43 1755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapal-kapal China, milik milisi China, parkir rapi di Whitsun Reef, wilayah yang beradi di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Filipina. Gambarnya diambil oleh Maxar Technologies melalui satelit. | Sumber: Citra Satelit 2021 Maxar Technologies melalui www.npr.org

Orang- orang Filipina memiliki harapan yang tinggi ketika pemimpin populer Rodrigo Duterte menjadi Presiden Filipina ke-16 pada tanggal 30 Juni 2016 silam. Mereka percaya bahwa Duterte akan melindungi kedaulatan Filipina dan menempatkan negara pada lintasan kemakmuran.

Setelah 12 hari Duterte menjabat sebagai presiden, tepatnya pada tanggal 12 Juli, Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) yang berbasis di Den Haag memberikan keputusan bersejarahnya atas sengketa Laut China Selatan (LCS), terutama tentang klaim China berdasarkan Peta Sembilan Garis Putusnya yang kontroversial.

Pengadilan menyimpulkan bahwa tidak ada dasar hukum bagi China untuk mengklaim hak-hak bersejarah atas sumber daya dalam daerah LCS daerah yang masuk ke dalam 'Sembilan Garis Putus. Disebutkan bahwa peta Sembilan Garis Putus tersebut tidak memiliki dasar hukum setelah China menandatangani dan meratifikasi Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982.

Pengadilan mengatakan bahwa Mischief Reef, Second Thomas Shoal dan Reed Bank di Kepulauan Spratly di LCS adalah bagian dari zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen Filipina. China telah melanggar hukum maritim internasional dengan mencegah nelayan Filipina menangkap ikan di daerah Scarborough Shoal.

Orang-orang di Filipina sangat senang dengan keputusan PCA. Karena Filipina-lah yang membawa kasus arbitrase ke PCA tahun 2013 terhadap China berdasarkan Annex VII ke UNCLOS, yang diratifikasi oleh Filipina pada tahun 1984 dan oleh China pada tahun 1996. 

Meskipun keputusan PCA bersifat final dan mengikat, China dan Taiwan telah menolak keputusan tersebut.

Yang mengejutkan jutaan orang Filipina, Duterte mengumumkan pada tahun 2016 bahwa ia tidak akan menekan China untuk menerapkan keputusan PCA. Ia ingin mengembangkan hubungan ekonomi yang erat dengan China. Dalam proses ini, ia menjauhkan diri dari sekutu tradisional Filipina, Amerika Serikat. China sangat senang dengan sikap berani Duterte di LCS.

Duterte mengharapkan miliaran dolar dalam bentuk investasi China dan pinjaman lunak sebagai imbalan atas tindakan kompromi terhadap klaim Filipina di LCS. Ia secara terbuka mengatakan bahwa Filipina terlalu lemah untuk mengambil risiko perang dengan China yang perkasa.

China melihat peluang emas pada kebijakan baru Duterte ini dan mencoba untuk menegaskan klaim di Spratly Islands dengan lebih agresif dari sebelumnya.

Duterte terkejut melihat bahwa China adalah negara yang berbahaya karena mengancam kedaulatan dan keamanan Filipina. Duterte merasa bahwa ia ditipu oleh China, yang bertekad untuk mengambil seluruh Kepulauan Spratly, termasuk daerah yang diklaim oleh Filipina. 

Masalah saat ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun