*Veeramalla Anjaiah
Â
Kami orang-orang Asia Tenggara telah hidup dalam damai selama lebih dari 40 tahun. Akankah kita hidup damai di masa depan?
Perkembangan terakhir di Laut Cina Selatan (LCS), salah satu jalur air tersibuk di dunia, tidak hanya mengkhawatirkan tetapi juga memiliki potensi besar untuk berubah menjadi perang nyata. Jika ini terjadi, perdamaian dan stabilitas akan hancur di Asia Tenggara.
Sejak awal Juli, sebuah kapal survei suatu negara besar, dikawal oleh kapal-kapal milisi maritim, telah secara ilegal menetap di zona ekonomi eksklusif (ZEE) resmi Vietnam. Filipina dan Malaysia juga menghadapi intimidasi dari kekuatan yang sama di perairan LCS yang paling disengketakan.
Siapa yang bertanggung jawab atas situasi ini? Apakah ada rasa hormat terhadap supremasi hukum? Apakah perang merupakan satu-satunya solusi terhadap ketegangan di LCS yang meningkat?
Sebelum mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, kita harus mengetahui tentang Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang diterima secara universal di tahun 1982, di mana setiap negara maritim berhak memiliki 200-mil laut ZEE dan 12-mil teritorial laut atau landas benua.
Kecuali Taiwan, semua penuntut LCS --- China, Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei --- telah menandatangani perjanjian maritim UNCLOS yang bersejarah ini dan meratifikasinya sejak lama. Indonesia, pemimpin de facto ASEAN, juga menandatangani dan meratifikasi perjanjian tersebut. Perjanjian UNCLOS melarang penggunaan kekuatan atau ancaman penggunaan kekuatan dalam menyelesaikan sengketa maritim.Â
Dalam pelanggaran yang jelas terhadap aturan UNCLOS, China mengklaim lebih dari 90 persen LCS berdasarkan pada Sembilan Garis Putus (Nine-Dash Line) yang kontroversial, yang mengacu pada garis demarkasi yang tidak jelas dan terletak secara samar. Klaimnya, yang juga didasarkan pada apa yang disebut sebagai 'hak historis' yang tidak dinyatakan dalam aturan maritim internasional, tumpang tindih dengan klaim pulau dan maritim Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan bahkan Indonesia, negara yang tidak ikut mengklaim.
Semua klaim China berdasarkan Sembilan Garis Putus dan hak historis ditolak oleh Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) yang berpusat di Den Haag dalam keputusan tahun 2016. Tetapi Beijing menolak ini dan melanjutkan untuk menegakkan klaimnya melalui tindakan sepihak, ilegal dan paksaan.
China secara ilegal membangun pulau-pulau buatan melalui reklamasi dan membangun fasilitas militer di atasnya. Mereka mencoba untuk menghalangi kegiatan penangkapan ikan dan eksploitasi sumber daya alam dari negara-negara penuntut lainnya di wilayah mereka yang berhak secara hukum.Â