Sementara, Maroko mempertahankan hubungan yang sangat baik dengan semua kekuatan utama seperti, AS, Uni Eropa, Cina, India, dan Jepang. Indonesia, yang memiliki hubungan dekat dengan Aljazair dan Maroko, sangat mendukung resolusi damai konflik Sahara Barat yang sudah berlangsung lama.
Di bawah kepemimpinan Brahim Gali, baik Polisario dan SADR kehilangan cahayanya dan menjadi sasaran rakyat Sahrawi. Menurut laporan terbaru di media internasional, banyak anggota muda Polisario marah pada kepemimpinan Polisario karena kondisi yang menyedihkan di kamp-kamp pengungsi di Tindouf di Aljazair. Mereka mengklaim kamp-kamp tersebut dikontrol dengan ketat dan mereka tidak diizinkan meninggalkan kamp tersebut. Sistem satu partai juga membatasi hak-hak masyarakat dan mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan, ujar mereka.
Beberapa pengungsi yang frustrasi telah bergabung dengan Negara Islam (IS) dan kelompok-kelompok teroris Al-Qaeda. Ada juga laporan tentang orang-orang yang melarikan diri dari cengkeraman Polisario dan membelot ke Maroko.
Polisario, untuk bagiannya, mengkritik Maroko karena menekan hak-hak rakyat Sahrawi, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri, di Sahara Maroko. Mereka juga mencaci Maroko karena mengeksploitasi sumber daya alam, terutama sumber daya penangkapan ikan dan fosfat, di Sahara Barat secara ilegal.
Komunitas internasional belum begitu memperhatikan penderitaan 90,000 orang pengungsi di bawah kekuasaan SADR selama lebih dari empat dekade. Enam ratus ribu orang Sahrawi yang tinggal di Sahara Maroko memiliki kehidupan yang jauh lebih baik daripada rekan-rekan mereka di kamp-kamp pengungsi Aljazair.
Baru-baru ini, penulis mengunjungi Sahara Maroko dan menyaksikan proyek-proyek infrastruktur besar seperti bandara, jalan, sekolah, perumahan gratis, rumah sakit, fasilitas air minum dan transportasi umum. Sahrawi Maroko dibebaskan dari pembayaran pajak dan mereka memiliki akses ke pinjaman bank lunak, beasiswa dan pekerjaan.
"Banyak orang Sahrawi menjadi pengacara, pegawai negeri, insinyur dan teknisi. Secara ekonomi, kami lebih baik dibandingkan dengan orang-orang di bawah Polisario," Abdul Khali, seorang penduduk di kota Dakhla di Sahara Maroko, mengatakan kepada penulis.
"Raja Maroko Mohammed ke-6 (tengah) membuka kapal yang membawa instalasi desalinasi air di pelabuhan Dakhla, Sahara Maroko, pada tahun 2016."
Polisario, sebuah kelompok pemberontak bersenjata dengan kecenderungan ke sayap kiri, telah berjuang untuk sebuah negara yang terpisah demi orang-orang Sahrawi dengan bantuan utama dari Aljazair selama 44 tahun terakhir. Kelompok ini didirikan oleh El Ouali Mustapha Sayed, seorang mahasiswa di Universitas Mohammed V di Rabat, ibukota Maroko, pada 10 Mei 1973. Polisario terus menerus berperang melawan Maroko, yang menguasai lebih dari 75 persen wilayah Sahara Barat.
Maroko menyebut wilayah itu Sahara Maroko, sementara Polisario menyebutnya Sahara Barat, yang merupakan koloni Spanyol hingga 1975. Maroko mengambil alih wilayah itu pada tahun 1976 ketika Spanyol pergi, mengklaim bahwa wilayah itu adalah bagian dari Maroko sebelum Spanyol mendudukinya. Namun Polisario mengklaim bahwa Maroko secara ilegal telah mencaplok Sahara Barat.