Hubungan baik antara Taiwan dan Indonesia memiliki banyak keunikan. Kedua negara tidak memiliki hubungan diplomatik namun hubungan ekonomi mereka telah tumuh pesat  selama lebih dari lima dekade. Lintasan hubungan antara Taiwan dan Indonesia dapat digambarkan seperti perjalanan roller-coaster karena Kebijakan Indonesia yaitu "Satu-China".
Apa saja pasang surut dalam hubungan kedua negara tersebut? Bagaimana cara terbaik untuk mengubah ikatan Taiwan-Indonesia di abad ke-21? Bagaimana cara menangani hegemoni regional China? Tantangan dan peluang baru apa saja yang ada di tengah rezim perdagangan bebas besar dan meningkatnya tren proteksionis? Perspektif baru apa yang muncul dalam membangun hubungan yang lebih kuat antara Taiwan dan Indonesia?
Ikhtisar Historis
Taiwan secara resmi disebut sebagai Republik China (Republic of China atau ROC), yang didirikan pada tahun 1912 di bawah kepemimpinan Sun Yat-sen. Dari tahun 1912 hingga 1949, China daratan dan Taiwan merupakan satu negara. Pada tahun 1949, ketika komunis mendirikan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di daratan, kepemimpinan nasional ROC mundur ke Taiwan.
Selama periode 1912 hingga 1949, ROC secara resmi menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia, yang pada waktu itu di bawah rezim kolonial Belanda, dan mendirikan beberapa kantor konsul-jenderal di berbagai kota di Indonesia.
Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 dan hubungan antara Indonesia dan ROC, atau Taiwan, mengalami perubahan terutama setelah pembentukan RRT pada tahun 1949. ROC adalah yang pertama dari dua China untuk mengakui kemerdekaan Indonesia dengan harapan bahwa hubungan lama akan terus berlanjut.
Tetapi Indonesia, seperti banyak negara di dunia, memutuskan untuk mengakui RRT dan mengadopsi apa yang disebut sebagai Kebijakan Satu-China. Pada bulan April 1950, semua kantor konsul-jenderal ROC ditutup.
Kebijakan Satu-China Indonesia tidak menghalangi pebisnis Indonesia untuk membangun hubungan perdagangan dengan Taiwan. Indonesia saat ini memiliki populasi keturunan China terbesar ketiga setelah China daratan dan Taiwan di dunia. Antara 5 hingga 7 persen dari 265 juta penduduk Indonesia adalah etnis China. Banyak pebisnis China dan pemimpin Indonesia lainnya telah mendukung Taiwan dan telah melobi untuk pengakuan Taiwan.
Meskipun pemerintah Indonesia tidak pernah setuju untuk mengakui Taiwan sebagai negara berdaulat, namun mereka membuat hubungan ekonominya berkembang. Upaya kudeta yang dituduhkan oleh komunis Indonesia pada 1965 mendorong Jakarta untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Beijing dari tahun 1967 hingga 1990.
Taiwan melihat kesempatan emas untuk merayu Indonesia, untuk meningkatkan hubungan bilateral dan bahkan menjalin hubungan diplomatik. Beberapa orang Indonesia seperti Brig. Jenderal Suhardiman, Be Sulindro, Suwandi Hamid, Njoo Han Siang dan Amran Zamzami mendirikan sebuah perusahaan perdagangan yang disebut PT Berdikari untuk berdagang dengan Taiwan dan melobi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan hubungan dengan Taiwan.
Pada tahun 1967, para pelobi ini, yang kemudian bergabung dengan pakar Jusuf Wanandi, pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS), mendesak pemerintah untuk meningkatkan hubungan dengan Taiwan tanpa adanya hubungan diplomatik dengan RRT. Mereka bahkan mengundang 14 anggota delegasi perdagangan Taiwan  ke Indonesia. Delegasi inilah yang menawarkan pinjaman US$20 juta ke Indonesia sebagai imbalan atas penarikan dukungan Jakarta terhadap RRT untuk memasuki Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pinjaman ini tidak pernah terwujud hanya karena Indonesia terikat pada Kebijakan Satu-China-nya. Kemudian menteri luar negeri Indonesia Adam Malik menegaskan bahwa Indonesia akan mengakui ROC hanya jika pemerintah Taiwan memindahkan kantor pusatnya ke Beijing.