Contohnya saja dalam mencari nafkah, tidak sedikit perempuan bekerja banting tulang layaknya laki-laki untuk mencukupi kehidupan keluarga sedangkan suami seakan-akan lepas tanggung jawab terhadap istri dan anaknya. Hal demikian sesungguhnya adalah masalah gender yang tidak wajar, karena sesungguhnya kesetaraan gender yang dimaksud adalah harus tetap memperhatikan "kodrat perempuan". Tidak dapat kita pungkiri bahwa di Indonesia masih banyak hambatan dalam pendekatan kesetaraan gender, Karena adanya peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, perlindungan hukum yang dirasakan masih kurang, dan adanya budaya yang bias akan gender. Contoh ketidakadilan gender atau diskriminasi gender kurangnya pemahaman masyarakat akan akibat dari adanya sistem struktur sosial dimana salah satu jenis laki-laki maupun perempuan menjadi korban (Tantri Dewayani, 2021).
Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi manusia. Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan pilihan hidup. Tidak hanya diperuntukkan bagi para laki-laki, pada hakikatnya perempuan pun mempunyai hak yang sama. Kesetaraan gender tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis tanpa pertimbangan selanjutnya. Kesetaraan gender juga tidak diartikan segala sesuatunya harus mutlak sama dengan laki-laki. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan perubahan keputusan bagi dirinya sendiri tanpa harus dibebani konsep gender. Namun, sampai saat ini perempuan sering dianggap sebagai sosok pelengkap (Tantri Dewayani, 2021).
Untuk mengatasi hal tersebut, maka diperlukan sosialisasi yang terus menerus bahwa perempuan juga mempunyai hak untuk berkedudukan setara dengan laki-laki. Dan penting bagi perempuan untuk mengetahui sejauh mana mereka dapat disetarakan dengan laki-laki. Karena untuk hal tertentu perempuan tidak bisa menduduki posisi laki-laki dalam menjaga kehormatan dan melindungi perempuan itu sendiri. Selain itu, memberikan hak yang sama dengan laki-laki, dengan tetap melindunginya akan menjadikan perempuan merasakan keadilannya sudah terpenuhi secara utuh. Maka keseimbangan kehidupan pun akan terwujud. Untuk lebih optimal dalam pencapaian kesetaraan gender, perlu pula dilakukan penyempurnaan perangkat hukum dalam melindungi setiap individu dan ketersediaan data serta peningkatan partisipasi masyarakat. Tujuannya sebenarnya cukup sederhana, agar semuanya seimbang, setara, adil, wujud impian kita semua. Jadi, Kesetaraan Gender itulah cita-cita mulia Ibu Kartini (Tantri Dewayani, 2021).
DAFTAR PUSTAKA
Karai Handak, I. S., & Kuswanto, K. (2021). Menelaah Urgensi Pendidikan bagi Perempuan Sesuai dengan Pemikiran R.A. Kartini. Jurnal PTK Dan Pendidikan, 7(1). https://doi.org/10.18592/ptk.v7i1.4701
Musa, M. R. P., Lesmana, A. B., Arthamevia, R. N., Pratama, P. A., & Savitri, N. (2022). Human Rights and Pancasila: A Case of Tionghoa Ethnic Discrimination in Indonesia. Indonesian Journal of Pancasila and Global Constitutionalism, 1(1), 119--170. https://doi.org/10.15294/ijpgc.v1i1.56879
Mustika Sari, R. (2024). STRUGGLE R.A. KARTINI: PEMIKIRAN DAN KONSEP KESETARAAN GENDER DALAM TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL. In Journal of Science and Social Research (Issue 3). http://jurnal.goretanpena.com/index.php/JSSR
Samijo, E., Jurahman, & Lestari, S. N. (2024). Mengupas Makna Kesetaraan Gender Dalam Perspektif R.A. Kartini Dan Pengaruhnya Bagi Pendidikan Perempuan Di Jawa Tahun 1891-1904. PINUS: Jurnal Penelitian Inovasi Pembelajaran, 9(1), 54--63. https://doi.org/10.29407/pn.v9i1.21373
Sulistyowati, Y. (2021). Kesetaraan Gender Dalam Lingkup Pendidikan Dan Tata Sosial. IJouGS: Indonesian Journal of Gender Studies, 1(2), 1--14. https://doi.org/10.21154/ijougs.v1i2.2317
Tantri Dewayani. (2021, April 21). Kartini dan Kesetaraan Gender, No One Left Behind.
Zuhri, S., & Amalia, D. (2022). Ketidakadilan Gender dan Budaya Patriarki di Kehidupan Masyarakat Indonesia. Murabbi, 2(8), 1767--1773.