Bukan berlatar belakang keluarga atau pun berpendidikan hukum, namun penulis melihat dari sudut pandang seorang manusia normal, yang ingin negaranya sejahtera tanpa korupsi.
Korupsi di negara kita seakan setara dengan kanker stadium 3 dalam tubuh lelaki tua. Bertubi-tubi telinga kita mendengar kasus pejabat negara, politikus, kepala daerah terjerat korupsi. Entah suap, gratifikasi, penyalahgunaan wewenang, dan lain sebagainya. Begitu masif perkembangan korupsi di Indonesia, seakan seperti trend K-Pop yang merajalela.Â
Baru-baru ini, kita mendengar 'lagi' seorang pejabat yang 'lagi-lagi' jadi tersangka 'lagi' dalam kasus korupsi sebuah mega proyek di tanah air. Setelah sempat dicabut status tersangkanya, namun ia kini kembali menyandang status tersangka. Sempat sakit jantung, terbaring lemah dan beberapa hari kemudian sudah dapat bekerja lagi, kini ia harus kembali menerima kenyataan sebagai seorang tersangka. Stop. cukup.
Tarik lebih jauh lagi ke masa lalu perjalanan panjang kasus korupsi di Indonesia. Koruptor kelas kakap, yang harusnya terkunci di tahanan dengan penjagaan ketat, tiba-tiba terciduk sedang menonton pertandingan olahraga di Pulau nan indah. Bagaimana bisa?
Ya, Korupsi menjadi kanker yang menggerogoti negara ini. Ada pihak tertentu yang menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk seenaknya mengambil dan mencuri uang rakyat layaknya uang milik mereka sendiri. Lembaga pengawasan korupsi pun seakan terintimidasi. berat memang menghadapi para manusia bertangan kotor nan berpikir licik.Â
Namun, sebagai masyarakat yang berpikiran cerdas, luhur, yang dilahirkan untuk suatu perbuatan baik, mari kita kawal dan awasi sehingga ruang gerak para koruptor pun semakin sempit dan Indonesia, khususnya pemerintahan yang sedang berjalan bisa meminimalisirkan dan bebas dari kegiatan korupsi dalam bentuk apa pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H