Mohon tunggu...
Nur Umi Anizah
Nur Umi Anizah Mohon Tunggu... -

mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bidadari di Ujung Pelangi

19 November 2013   09:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:58 4973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nunu kecil bersorak gembira ketika hari yang panas berganti menjadi hujan. Awan tak mampu mengalahkan sinar sang mentari meski ia telah keberatan membawa beban hujan. Anak-anak berlarian keluar rumah. Mereka mendongak menatap langit di teras rumah dengan muka berseri-seri.

“Hujan panas, hujan panas”, seru salah seorang dari mereka.

“Sebentar lagi akan ada pelangi”, Nunu ikut berseru.

Hujan singkat saja, ia datang dan mereda tiba-tiba. Anak-anak yang semula ada di teras kini berlarian ke halaman rumah sembari memandangi langit siang itu. Mereka berharap ada pelangi. Pelangi yang melengkung indah berwarna-warni. Seperti yang anak-anak tahu, pelangi akan muncul setelah datangnya hujan panas. Entah siapa yang awalnya memberi tahu mereka, tapi setiap hujan panas mereka pasti selalu menantikan melihat eloknya pelangi, meski pelangi itu sendiri tak selalu nampak.

“Hei, lihat di sana ada pelangi”, tunjuk salah seorang anak ke suatu arah.

Anak-anak yang lain makin berseri-seri. Mereka bergegas berlarian berkumpul menuju sumber suara.

“Dimana, dimana?”, karena rimbunnya pepohonan tidak semua anak dapat dengan mudah melihat pelangi.

Pandangan anak-anak mengarah ke jari telunjuk kawan mereka yang tadi berseru. Tampaklah garis me-ji-ku-hi-bi-ni-u cerah di langit tenggara.

“Hei, jangan tunjuk-tunjuk hanya pakai satu jari”, Nunu memperingatkan.

Anak yang pertama kali melihat pelangi ini wajahnya tiba-tiba sedikit pucat. Semacam ada himbauan yang tertanam pada diri anak-anak ini jika mereka tidak boleh asal tunjuk ke suatu tempat apalagi jika yang mereka tunjuk mengarah ke hal-hal yang mistis atau tempat-tempat misterius yang dikeramatkan. Rasa takutnya mulai menghilang ketika temannya berlarian menjemput sang pelangi. Sudah menjadi kebiasaan anak-anak di desa itu, jika ada pelangi mereka akan berlarian mengejar ujung pelangi itu sebelum lengkung indah sang pelangi memudar. Anak-anak percaya jika mereka berhasil mendapatkan ujung pelangi mereka dapat bertemu para bidadari.

Terlepas dari dongeng Jaka Tarub dan istrinya Nawang Wulan, anak-anak desa sejak kecil telah diceritakan kisah para bidadari yang turun dari kahyangan saat hujan panas turun. Mereka akan turun menaikki pelangi, dan di ujung pelangi itulah mereka berhenti untuk mandi bersama di kali. Mitos seperti ini telah terpatri dalam khayal dan imajinasi anak-anak. Sehingga mereka akan sangat antusias untuk mencari ujung pelangi. Walaupun semakin mereka mengejar ujungnya, pelangi itu semakin menjauh dari mereka. Bahkan, lama-lama memudar dan hilang dari pandangan. Jika sudah begitu, anak-anak biasanya pulang dengan kekecewaan. Mereka hanya bisa mengkhayal mengintip para bidadari mandi, yang konon menurut cerita orang tua mereka sangatlah cantik parasnya.

Nunu dan kawan-kawan berlarian ke arah sungai. Mencoba mencapai ujung pelangi. Di kejauhan para ibu mereka berteriak keras memanggil-manggil serta memperingatkan mereka agar tidak mendekati sungai. Tubuh anak-anak ini masih terlalu kecil. Para ibu khawatir jika anaknya terbawa arus sungai. Walaupun hujan panas sebentar saja, namun debit air sungai biasanya meningkat dan sungai bisa meluap. Para ibu tergopoh-gopoh mengejar anak-anak mereka. Sementara anak-anak kecil yang polos ini menghentikan langkah.

“Ayo, kita sudah dekat dengan ujung pelangi, sebentar lagi sampai, air sungainya tidak deras kok kelihatannya”, ajak salah satu anak yang paling besar di antara mereka.

Nunu terdiam, ia menoleh ke belakang, ibunya tidak berlarian menjemputnya pulang, hanya teriakannya yang lamat-lamat terdengar. Ia ingin ikut, tapi beberapa anak lain sudah kembali pulang ditarik oleh ibu mereka. Nunu juga diajak pulang oleh salah satu ibu temannya, ia hanya mengangguk kecil tapi masih ragu. Di sana hanya tersisa tiga orang anak termasuk Nunu, satu anak usianya tiga tahun di atas Nunu, yang satunya lagi satu tahun di atasnya.

Anak yang paling tua di antara mereka bergegas berjalan kembali menuju ujung pelangi, anak yang kedua mengikuti, sementara Nunu walaupun ragu kemudian ikut mengikuti langkah mereka, tetap dengan sesekali menoleh ke belakang melihat temannya yang telah lebih dulu pulang. Mereka telah tiba di tepi sungai, namun ujung pelangi tak mereka dapatkan, justru ujungnya semakin menjauh dari pandangan. Nunu mulai takut, ia sering mendengar cerita kalau sungai yang ia datangi bersama dua orang temannya sering meminta tumbal. Apalagi ia datang bertiga, masyarakat desa memiliki mitos jika ingin pergi ke sungai maka jumlah orangnya harus genap, tidak boleh ganjil. Jika ganjil maka salah satu dari mereka bisa mendapat bahaya.

“Kita pulang aja yuk, pelanginya masih jauh”, ujar Nunu.

“Ah, tanggung, ujungnya ada di sebelah sana, ayo kita berjalan sedikit lagi”, kata anak yang paling tua di antara ketiga bocah mungil itu.

“Benar, itu disana, di dekat air terjun, ayo sebelum para bidadari itu kembali ke kahyangan”, balas yang lainnya.

Mereka bertiga kemudian berjalan dengan langkah lebar ke arah air terjun, kecuali Nunu. Ia ingin berbalik tapi ia takut jika harus pulang sendiri. Ia mengikuti kawannya dengan jantung yang semakin berdegup kencang. Belum sampai mereka ke air terjun, mereka dikagetkan oleh sebuah suara di balik pohon di tepi sungai.

“Whoaa!!!”, teriak seseorang dari balik pohon.

“Aaaaaaaaaaaaa”, ketiga anak itu pun terkejut lalu berlari berbalik arah dengan cepat. Nunu menangis, sambil berlari ia ketakutan. Tiba-tiba terdengar suara petir menggelegar yang semakin mengejutkan mereka. Tangis Nunu semakin menjadi-jadi, ia berlari semakin kencang. Langkah kakinya paling pendek sehingga kedua temannya mampu mendahuluinya dengan mudah. Mereka kemudian berhenti setelah kelelahan berlari terlalu jauh. Mereka menoleh ke belakang, ternyata bukan saja telah pudar, pelangi itu kini bahkan tidak tampak sama sekali, para bidadari telah selesai mandi, pikir anak-anak.

Dari balik pohon, seorang lelaki tersenyum geli melihat tingkah anak-anak itu. Ia sengaja mengagetkan anak-anak, agar mereka tidak melanjutkan niat mereka mendekati air terjun. Kemudian lelaki paruh baya itu melanjutkan pekerjaannya dan mulai menebar jala.

Anak-anak telah berlari cukup jauh dari sungai. Sampai di dekat rumah, ibu Nunu telah menunggunya dengan cemas.

“Dari mana saja kamu, yang lain sudah pada pulang masih saja pergi, ke sungai yah, sudah ibu wanti-wanti jangan suka pergi ke sungai, itu tempat angker, banyak yang sudah jadi korban, sudah jangan nangis, mandi sanah! Kalian juga, yang besar malah ngajak-ngajak yang kecil ke tempat yang berbahaya”, kedua teman Nunu tertunduk, mereka kemudian berbalik pulang ke rumah masing-masing.

Selesai mandi Nunu merenung, secantik apa ya bidadari itu? Kenapa mereka tidak pernah muncul di hadapan orang? Lalu, kalau mereka tidak pernah terlihat oleh manusia, kenapa orang-orang bilang mereka mandi di ujung pelangi? Apa mereka malu, atau mungkin mereka memiliki kekuatan untuk tidak terlihat oleh manusia? Pertanyaan-pertanyaan seputar bidadari dan pelangi itu silih berganti muncul dalam benaknya, gadis yang baru berusia 6 tahun itu sangat penasaran dengan fenomena garis warna warni yang bernama pelangi.

Karena terlalu berambisi melihat bidadari di ujung pelangi. Dalam tidurnya, Nunu bermimpi bertemu para bidadari. Ia bermimpi melihat para bidadari itu mandi sembari bercanda tawa, tapi kemudian para bidadari menengok ke arahnya dan ia pun kaget. Ia berusaha berlari tapi tak bisa, para bidadari itu semakin mendekat ke arahnya. Nunu bingung, ia takut ketahuan telah mengintip bidadari, ia takut dibawa para bidadari ke kahyangan. Tiba-tiba ia merasakan tepukan lembut di bahunya, ia hendak menengok sebelum akhirnya ia lebih dulu membuka mata dan mulai terjaga.

Hari ini di sekolah Nunu antusias menceritakan mimpinya pada teman-temannya. Sebagian dari mereka mendengarkan dengan sungguh-sungguh, sementara sebagian yang lain hanya berpura-pura memerhatikan. Ceritanya terhenti ketika guru kelasnya datang. Ketua kelas menyiapkan anggota kelasnya, memberi salam pada bu guru, kemudian memimpin berdoa. Hari ini pelajaran IPA, anak-anak disuruh membuka buku materi dan buku catatannya. Materi hari ini begitu menarik, terutama untuk Nunu.

“Hari ini kita akan membahas fenomena alam yang ada di langit. Hari ini kita akan membahas tentang pelangi”, kata bu Akhtin membuka pelajaran.

Nunu mendengar dengan sungguh-sungguh. Ia begitu penasaran dengan pelangi dan serba-serbinya. Setelah dijelaskan bahwa pelangi adalah gejala optik dan meteorologi berupa cahaya beraneka warna saling sejajar yang tampak di langit atau media lainnya, rasa penasaran Nunu hilang. Pertanyaannya terjawab sudah, pelangi itu hanya fatamorgana, ia tampak namun tak dapat disentuh dan didekati. Semakin kita mendekat, ia semakin menjauh. Lalu, soal bidadari itu, mungkin itu hanya semacam dongeng penghantar tidur, semacam cerita timun mas dan lain sebagainya. Pelangi bukanlah papan seluncur yang digunakan para bidadari untuk meluncur turun ke bumi. Memangnya di kahyangan tidak ada air sehingga para bidadari harus turun ke bumi? Para bidadari mandinya hanya sebentar yah, sesingkat kemunculan pelangi? Hihihi, Nunu tertawa geli bertanya pada dirinya sendiri.

Kini, setiap ada hujan panas, ia akan tetap mengharap pelangi, tapi bukan untuk dikejar, namun untuk dinikmati keindahannya. Nunu kecil mulai memahami, bahwa di balik mitos dan dongengan yang diceritakan orang tuanya, terdapat sejuta pertanyaan yang harus dijawab dengan ilmiah dan pendekatan religius yang benar. Semenjak saat itu, Nunu mulai rajin mengamati fenomena alam dan tak sungkan menanyakannya pada orang-orang yang ia anggap mampu menjelaskannya dengan benar.Bidadari di Ujung Pelangi

Nunu kecil bersorak gembira ketika hari yang panas berganti menjadi hujan. Awan tak mampu mengalahkan sinar sang mentari meski ia telah keberatan membawa beban hujan. Anak-anak berlarian keluar rumah. Mereka mendongak menatap langit di teras rumah dengan muka berseri-seri.

“Hujan panas, hujan panas”, seru salah seorang dari mereka.

“Sebentar lagi akan ada pelangi”, Nunu ikut berseru.

Hujan singkat saja, ia datang dan mereda tiba-tiba. Anak-anak yang semula ada di teras kini berlarian ke halaman rumah sembari memandangi langit siang itu. Mereka berharap ada pelangi. Pelangi yang melengkung indah berwarna-warni. Seperti yang anak-anak tahu, pelangi akan muncul setelah datangnya hujan panas. Entah siapa yang awalnya memberi tahu mereka, tapi setiap hujan panas mereka pasti selalu menantikan melihat eloknya pelangi, meski pelangi itu sendiri tak selalu nampak.

“Hei, lihat di sana ada pelangi”, tunjuk salah seorang anak ke suatu arah.

Anak-anak yang lain makin berseri-seri. Mereka bergegas berlarian berkumpul menuju sumber suara.

“Dimana, dimana?”, karena rimbunnya pepohonan tidak semua anak dapat dengan mudah melihat pelangi.

Pandangan anak-anak mengarah ke jari telunjuk kawan mereka yang tadi berseru. Tampaklah garis me-ji-ku-hi-bi-ni-u cerah di langit tenggara.

“Hei, jangan tunjuk-tunjuk hanya pakai satu jari”, Nunu memperingatkan.

Anak yang pertama kali melihat pelangi ini wajahnya tiba-tiba sedikit pucat. Semacam ada himbauan yang tertanam pada diri anak-anak ini jika mereka tidak boleh asal tunjuk ke suatu tempat apalagi jika yang mereka tunjuk mengarah ke hal-hal yang mistis atau tempat-tempat misterius yang dikeramatkan. Rasa takutnya mulai menghilang ketika temannya berlarian menjemput sang pelangi. Sudah menjadi kebiasaan anak-anak di desa itu, jika ada pelangi mereka akan berlarian mengejar ujung pelangi itu sebelum lengkung indah sang pelangi memudar. Anak-anak percaya jika mereka berhasil mendapatkan ujung pelangi mereka dapat bertemu para bidadari.

Terlepas dari dongeng Jaka Tarub dan istrinya Nawang Wulan, anak-anak desa sejak kecil telah diceritakan kisah para bidadari yang turun dari kahyangan saat hujan panas turun. Mereka akan turun menaikki pelangi, dan di ujung pelangi itulah mereka berhenti untuk mandi bersama di kali. Mitos seperti ini telah terpatri dalam khayal dan imajinasi anak-anak. Sehingga mereka akan sangat antusias untuk mencari ujung pelangi. Walaupun semakin mereka mengejar ujungnya, pelangi itu semakin menjauh dari mereka. Bahkan, lama-lama memudar dan hilang dari pandangan. Jika sudah begitu, anak-anak biasanya pulang dengan kekecewaan. Mereka hanya bisa mengkhayal mengintip para bidadari mandi, yang konon menurut cerita orang tua mereka sangatlah cantik parasnya.

Nunu dan kawan-kawan berlarian ke arah sungai. Mencoba mencapai ujung pelangi. Di kejauhan para ibu mereka berteriak keras memanggil-manggil serta memperingatkan mereka agar tidak mendekati sungai. Tubuh anak-anak ini masih terlalu kecil. Para ibu khawatir jika anaknya terbawa arus sungai. Walaupun hujan panas sebentar saja, namun debit air sungai biasanya meningkat dan sungai bisa meluap. Para ibu tergopoh-gopoh mengejar anak-anak mereka. Sementara anak-anak kecil yang polos ini menghentikan langkah.

“Ayo, kita sudah dekat dengan ujung pelangi, sebentar lagi sampai, air sungainya tidak deras kok kelihatannya”, ajak salah satu anak yang paling besar di antara mereka.

Nunu terdiam, ia menoleh ke belakang, ibunya tidak berlarian menjemputnya pulang, hanya teriakannya yang lamat-lamat terdengar. Ia ingin ikut, tapi beberapa anak lain sudah kembali pulang ditarik oleh ibu mereka. Nunu juga diajak pulang oleh salah satu ibu temannya, ia hanya mengangguk kecil tapi masih ragu. Di sana hanya tersisa tiga orang anak termasuk Nunu, satu anak usianya tiga tahun di atas Nunu, yang satunya lagi satu tahun di atasnya.

Anak yang paling tua di antara mereka bergegas berjalan kembali menuju ujung pelangi, anak yang kedua mengikuti, sementara Nunu walaupun ragu kemudian ikut mengikuti langkah mereka, tetap dengan sesekali menoleh ke belakang melihat temannya yang telah lebih dulu pulang. Mereka telah tiba di tepi sungai, namun ujung pelangi tak mereka dapatkan, justru ujungnya semakin menjauh dari pandangan. Nunu mulai takut, ia sering mendengar cerita kalau sungai yang ia datangi bersama dua orang temannya sering meminta tumbal. Apalagi ia datang bertiga, masyarakat desa memiliki mitos jika ingin pergi ke sungai maka jumlah orangnya harus genap, tidak boleh ganjil. Jika ganjil maka salah satu dari mereka bisa mendapat bahaya.

“Kita pulang aja yuk, pelanginya masih jauh”, ujar Nunu.

“Ah, tanggung, ujungnya ada di sebelah sana, ayo kita berjalan sedikit lagi”, kata anak yang paling tua di antara ketiga bocah mungil itu.

“Benar, itu disana, di dekat air terjun, ayo sebelum para bidadari itu kembali ke kahyangan”, balas yang lainnya.

Mereka bertiga kemudian berjalan dengan langkah lebar ke arah air terjun, kecuali Nunu. Ia ingin berbalik tapi ia takut jika harus pulang sendiri. Ia mengikuti kawannya dengan jantung yang semakin berdegup kencang. Belum sampai mereka ke air terjun, mereka dikagetkan oleh sebuah suara di balik pohon di tepi sungai.

“Whoaa!!!”, teriak seseorang dari balik pohon.

“Aaaaaaaaaaaaa”, ketiga anak itu pun terkejut lalu berlari berbalik arah dengan cepat. Nunu menangis, sambil berlari ia ketakutan. Tiba-tiba terdengar suara petir menggelegar yang semakin mengejutkan mereka. Tangis Nunu semakin menjadi-jadi, ia berlari semakin kencang. Langkah kakinya paling pendek sehingga kedua temannya mampu mendahuluinya dengan mudah. Mereka kemudian berhenti setelah kelelahan berlari terlalu jauh. Mereka menoleh ke belakang, ternyata bukan saja telah pudar, pelangi itu kini bahkan tidak tampak sama sekali, para bidadari telah selesai mandi, pikir anak-anak.

Dari balik pohon, seorang lelaki tersenyum geli melihat tingkah anak-anak itu. Ia sengaja mengagetkan anak-anak, agar mereka tidak melanjutkan niat mereka mendekati air terjun. Kemudian lelaki paruh baya itu melanjutkan pekerjaannya dan mulai menebar jala.

Anak-anak telah berlari cukup jauh dari sungai. Sampai di dekat rumah, ibu Nunu telah menunggunya dengan cemas.

“Dari mana saja kamu, yang lain sudah pada pulang masih saja pergi, ke sungai yah, sudah ibu wanti-wanti jangan suka pergi ke sungai, itu tempat angker, banyak yang sudah jadi korban, sudah jangan nangis, mandi sanah! Kalian juga, yang besar malah ngajak-ngajak yang kecil ke tempat yang berbahaya”, kedua teman Nunu tertunduk, mereka kemudian berbalik pulang ke rumah masing-masing.

Selesai mandi Nunu merenung, secantik apa ya bidadari itu? Kenapa mereka tidak pernah muncul di hadapan orang? Lalu, kalau mereka tidak pernah terlihat oleh manusia, kenapa orang-orang bilang mereka mandi di ujung pelangi? Apa mereka malu, atau mungkin mereka memiliki kekuatan untuk tidak terlihat oleh manusia? Pertanyaan-pertanyaan seputar bidadari dan pelangi itu silih berganti muncul dalam benaknya, gadis yang baru berusia 6 tahun itu sangat penasaran dengan fenomena garis warna warni yang bernama pelangi.

Karena terlalu berambisi melihat bidadari di ujung pelangi. Dalam tidurnya, Nunu bermimpi bertemu para bidadari. Ia bermimpi melihat para bidadari itu mandi sembari bercanda tawa, tapi kemudian para bidadari menengok ke arahnya dan ia pun kaget. Ia berusaha berlari tapi tak bisa, para bidadari itu semakin mendekat ke arahnya. Nunu bingung, ia takut ketahuan telah mengintip bidadari, ia takut dibawa para bidadari ke kahyangan. Tiba-tiba ia merasakan tepukan lembut di bahunya, ia hendak menengok sebelum akhirnya ia lebih dulu membuka mata dan mulai terjaga.

Hari ini di sekolah Nunu antusias menceritakan mimpinya pada teman-temannya. Sebagian dari mereka mendengarkan dengan sungguh-sungguh, sementara sebagian yang lain hanya berpura-pura memerhatikan. Ceritanya terhenti ketika guru kelasnya datang. Ketua kelas menyiapkan anggota kelasnya, memberi salam pada bu guru, kemudian memimpin berdoa. Hari ini pelajaran IPA, anak-anak disuruh membuka buku materi dan buku catatannya. Materi hari ini begitu menarik, terutama untuk Nunu.

“Hari ini kita akan membahas fenomena alam yang ada di langit. Hari ini kita akan membahas tentang pelangi”, kata bu Akhtin membuka pelajaran.

Nunu mendengar dengan sungguh-sungguh. Ia begitu penasaran dengan pelangi dan serba-serbinya. Setelah dijelaskan bahwa pelangi adalah gejala optik dan meteorologi berupa cahaya beraneka warna saling sejajar yang tampak di langit atau media lainnya, rasa penasaran Nunu hilang. Pertanyaannya terjawab sudah, pelangi itu hanya fatamorgana, ia tampak namun tak dapat disentuh dan didekati. Semakin kita mendekat, ia semakin menjauh. Lalu, soal bidadari itu, mungkin itu hanya semacam dongeng penghantar tidur, semacam cerita timun mas dan lain sebagainya. Pelangi bukanlah papan seluncur yang digunakan para bidadari untuk meluncur turun ke bumi. Memangnya di kahyangan tidak ada air sehingga para bidadari harus turun ke bumi? Para bidadari mandinya hanya sebentar yah, sesingkat kemunculan pelangi? Hihihi, Nunu tertawa geli bertanya pada dirinya sendiri.

Kini, setiap ada hujan panas, ia akan tetap mengharap pelangi, tapi bukan untuk dikejar, namun untuk dinikmati keindahannya. Nunu kecil mulai memahami, bahwa di balik mitos dan dongengan yang diceritakan orang tuanya, terdapat sejuta pertanyaan yang harus dijawab dengan ilmiah dan pendekatan religius yang benar. Semenjak saat itu, Nunu mulai rajin mengamati fenomena alam dan tak sungkan menanyakannya pada orang-orang yang ia anggap mampu menjelaskannya dengan benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun