[caption id="attachment_307278" align="aligncenter" width="576" caption="Ilustrasi/Admin (Ajie Nugroho)"][/caption] Mantan tahanan politik (Tapol) dan aktivis LEKRa, Putu Oka Sukanta mengatakan diperlukannya sebuah upaya untuk memurnikan sejarah khususnya yang berkaitan dengan peristiwa Gerakan 30 September. Hal tersebut ia sampaikan dalam kegiatan bedah buku "Sulawesi Bersaksi", Selasa (3/12/2013) di Aula Prof Mattulada, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin. Kegiatan tersebut dilaksanakan Lembaga Kreativitas Kemanusian dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas hasanuddin dan Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi. "Sejarah mengenai peristiwa 65 ini yang saat ini dibentuk untuk mendukung sebuah rezim kekuasaan. Padahal ada dua kelompok di luar sistem kekuasaan ini yang sebenarnya mampu untuk memurnikan sejarah itu yakni kaum intelektual atau sejarawan serta orang yang dikalahkan sistem tersebut,"ujarnya. Menurutnya, peristiwa 65 yang selama ini distigmakan merupakan dosa dari Partai Komunis Indonesia (PKI) harus diperbaiki nama baiknya. Karena hal ini berdampak hingga pada keturunan-keturunan orang-orang yang seharusnya tak disalahkan atas kepentingan satu pihak. "Jika sejarah ini benar-benar ingin dimurnikan sebagai perjalanan bangsa, kaum intelektual, orang yang dinistakan oleh sejarah serta pemerintah harus fokus akan hal ini,"tambahnya. Menurutnya, versi kebenaran peristiwa 65 saat ini belum dapat dijelaskan dengan baik karena pemerintah atau yang ia sebut penguasa belum membuka celah untuk bersama-sama membahas apa yang benar terjadi pada peristiwa 65 tersebut. "Lahirnya buku 1965 pun yang ditulis oleh peneliti-peneliti dari berbagai negara yang menyodorkan data-data otentik yang dapat menyeimbangkan sejarah yang dibangun penguasa rezim terdahulu dan saat ini,"jelasnya. Ia menjelaskan Peristiwa di tahun 1965 merupakan manifestasi dari perang dingin kaum sosial dan kapitalis, dimana dibentuknya sebuah skenario besar yang menjadikan Soekarno sebagai common enemy atau musuh bersama. Sementara itu, dosen FIB Unhas, Dr Iqbal Latif menilai upaya-upaya untuk menyeimbangkan sejarah tersebut harus senantiasa dilakukan. Hal tersebut agar warga Indonesia tidak terindoktrinasi dengan pandangan sejarah yang dibangun oleh penguasa. Penyeimbangan dan pemurnian peristiwa 1965 tersebut menjadi penting, bagi Dosen FIB Unhas, Edwar Poelinggomang ini untuk menyelamatkan orang-orang yang tidak berhubungan langsung dengan peristiwa tersebut mendapatkan kerugian. "Ada diskriminasi dengan anak-anak yang diduga orangtuanya terlibat PKI. Sampai sekarang mereka tak bisa menjadi pegawai karena alasan tersebut,"ujarnya. Perbaikan Sejarah melalui Kurikulum pendidikan Dosen FIB Unhas, Dr Iqbal Latif mengatakan penguasa melakukan doktrinisasi melalui kurikulum pendidikan. Untuk itu, upaya untuk memurnikan yakni melalui pendidikan pula. "Seharusnya dalam penyusunan kurikulum ini melibatkan sejarawan untuk menyeimbangkan sejarah yang selama ini telah dibangun,"ujarnya. Menurutnya kurikulum pendidikan di Indonesia masih dikontrol oleh negara, sehingga para sejarawan pun seharusnya mengambil bagian dan diberikan kesempatan untuk memberikan pandangannya dalam penyusunan kurikulum tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H