Mohon tunggu...
Clara Anita
Clara Anita Mohon Tunggu... pegawai negeri -

justanordinaryperson

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku dan Langit

6 Mei 2011   02:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:02 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dedaunan menyukai hijau. Fajar selalu rindu pada jingga. Senja tresna pada lembayung. Seperti laut lekat pada biru
dan puspa bangga akan semburat berkas pelangi di mahkotanya. Tapi bumi lebih memilih kelabu sendu. Dunia penuh nuansa warna semarak, namun bumi tetap setia pada kelabu muram.

... dan bumi pun unjuk bicara ...

"Kelabu mengingatkanku pada langit. Langit yang kukasihi dengan sangat. Tidakkah kau tahu betapa tiap detik tak letih aku menengadah menatap langit?"

"Malang langit tak pernah tergapai. Apakah aku ini? Hanya seberkas debu. Hina dina aku hingga di ujung sepatu pun aku tak diingini. Namun aku tetap mencintai langit meski tak mungkin tanganku merengkuhnya. Aku memang ngeyel -- konyol. Sayang, apa dayaku. Aku sudah terlanjur mencinta."

"Bunga suka pada langit nan biru. Kelopaknya bermekaran menawan centil di bawahnya. Para pekerja bersorak girang ketika ia berjubahkan lembayung ungu. Pertanda malam menghantar rehat sejenak. Sedang nelayan pun pelaut berjaga menunggu jingga saat daratan nampak di pelupuk-- mengijinkan tubuh lelah mereka bersandar."

"Aku pun menyukai semua warna langit -- tapi aku selalu rindu pada kelabu pengiring hujan dan kadang badai. Semua serentak bersembuyi, bahkan tetumbuhan pun seolah merunduk kala langit berselimut kelabu -- tapi aku selalu rindu pada kelabu."

"Kelabu adalah balas langit atas segala rinduku. Kala ia telah menyelubungi dirga -- makin lama makin pekat , itulah bahasa langit yang tak dapat lagi membendung kasihnya pada hamba hina dina ini. Perlahan kelabu luruh bersama tetes-tetes air mata langit. Jatuh ia luruh memelukku erat. Saat itulah langit turun menyapaku -- mesra dan syahdu. Perlahan kelabu akan memudar, dan di sanalah selengkung busur warna-warni membentuk titian ke arah langit. Ia serasa demikian dekat -- tak berjarak."

"Ah langit, karena aku tak mungkin meraihmu, kau turun menyapaku."

"Itulah mengapa aku begitu kasmaran pada kelabu saat yang lain mengagumi biru. Ternyata aku lebih membutuhkan kehadiran langit, bukan hanya hadiah-hadiahnya yang menyilaukan mata. Aku mencintai langit saat biru, jingga, ungu dan terlebih saat ia kelabu."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun