Mohon tunggu...
Anita Tahmid
Anita Tahmid Mohon Tunggu... -

suka membaca dan menulis tentang politik, sosial dan budaya, pernah nyantri di Universitas Al-Azhar Kairo dan sekarang tinggal di Solo

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menyoal Alasan Pak Kyai Mendukung Foke

2 Agustus 2012   00:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:20 2381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foke dan Jokowi (http://media.viva.co.id)

[caption id="" align="aligncenter" width="530" caption="Foke dan Jokowi (http://media.viva.co.id)"][/caption] Dalam seminar bertajuk "Peran Ulama dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta Putaran Kedua" di Jakarta Islamic Center, Ahad, 29 Juli 2012, ada seorang Kyai, tokoh agama, ulama, sesepuh Nahdlatul Ulama yang juga Ketua (bukan Ketua Umum) Majelis Ulama Indonesia dan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden menyatakan dukungannya terhadap Foke.

Saya merasa tergelitik dengan alasan dukungan Pak Kyai yang terkesan lebay, dibuat-buat dan dipaksakan, sehingga perlu dikritisi. Berikut ini poin-poin yang disampaikan Pak Kyai tersebut dan komentar saya ada di bawah tiap-tiap poin.

1. Tiga kriteria calon pemimpin terbaik adalah harus memberikan kemaslahatan, harus memiliki keunggulan, dan telah berpengalaman. Seluruh kriteria pemimpin terbaik ada dalam diri Foke. Untuk kriteria yang pertama, yaitu memberikan kemaslahatan, Foke tidak hanya membawa kemaslahatan bagi duniawi, tetapi juga kemaslahatan agama Islam. Sebab, pasangan calon nomor urut satu itu keduanya beragama Islam.

Saya sependapat dengan kriteria pertama bahwa pemimpin harus memberikan kemaslahatan, sesuai Kaidah Fiqh, “Kebijakan yang diambil seorang pemimpin harus berorientasi kepada kemaslahatan, kemanfaatan dan kebaikan rakyat”.

Yang saya tidak sependapat, pernyataan Pak Kyai bahwa Foke memberikan kemaslahatan dengan alasan karena beragama Islam. Saya lihat pernyataan Pak Kyai dan alasan yang menyertainya tidak “nyambung”. Seolah-olah, pemimpin yang beragama Islam dijamin mampu memberikan kemaslahatan bagi umat. Padahal, kenyataannya tidak mesti demikian. Berapa banyak pejabat yang di KTP tertulis beragama Islam, tapi malah menyengsarakan umat dengan perilakunya yang koruptif, kolutif dan manipulatif. Berapa banyak pejabat yang suka memakai peci dan baju koko serta memakai gelar Haji di depan namanya, tapi perilakunya seperti orang Kafir, yang tidak percaya adanya Tuhan, karena ia tidak merasa Tuhan mengawasi gerak-geriknya ketika ia berbuat tercela (maksiat).

Intinya, kesucian dan kehebatan sebuah agama tak menjamin penganutnya menjelma menjadi manusia yang suci dan hebat. Semua berpulang kepada pribadi masing-masing. Bahkan, tidak mustahil orang yang tidak beragama sekalipun, mampu berperilaku lebih baik dan lebih saleh ketimbang orang yang beragama.

2. Kriteria pemimpin yang baik kedua, yaitu memiliki keunggulan, Foke merupakan lulusan S-3 tata wilayah di luar negeri. Karena itu, jauh lebih unggul daripada calon lain yang bukan lulusan S-3.

Saya setuju dengan kriteria kedua bahwa pemimpin harus memiliki keunggulan atau kelebihan. Ia harus memiliki basthatan fil-ilmi wal-jism, pengetahuan yang luas dan kesempurnaan fisik, sehingga mumpuni menjadi pemimpin, laksana Thalut.

Hanya saja, saya heran kenapa Pak Kyai menilai keunggulan seseorang dengan mendasarkan pada predikat gelar kesarjanaan. Bukankah pendidikan tidak menjamin keunggulan seseorang. Berapa banyak pejabat yang bergelar profesor doktor tak mampu menyelesaikan persoalan di pemerintahan, bahkan malah terlibat dalam banyak kasus korupsi. Sebaliknya, berapa banyak putra-putra Indonesia yang tak tamat sekolah tapi mampu menyuguhkan gagasan-gagasan solutif atas problematika kehidupan di masyarakat. Berapa banyak kyai atau ustadz yang hanya jebolan pesantren tanpa gelar pendidikan formal, tapi kehadirannya mendatangkan manfaat dan maslahat bagi masyarakat.

Seharusnya Pak Kyai merujuk kepada Sabda Rasulullah SAW, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling berguna / bermanfaat bagi manusia yang lain”. Standar menilai keunggulan, bukan darimana ia belajar, alumni mana dan apa gelar akademiknya, tapi kemanfaatan apa yang telah ia berikan kepada umat / masyarakat. Gelar doktor dan lulusan luar negeri sekalipun, tak ada nilainya jika tidak sanggup menghadirkan sebesar-besar kemanfaatan bagi orang banyak.

3. Selain itu, Foke berasal dari keluarga Islam yang sudah turun-temurun akrab dengan kiai Islam. Jadi, ia telah mengenal Islam sejak kecil dan memiliki keunggulan agama lebih baik daripada calon lainnya.

Sepertinya Pak Kyai memahami Islam di sini hanya berkutat pada hal-hal yang sifatnya formalitas belaka. Mengukur keislaman seseorang dari seberapa rajin ia sembahyang, puasa, berzakat, mengaji Alquran dan aktiftas pribadi lainnya. Harusnya nilai-nilai Islam dipahami lebih luas dari itu. Bahwa orang beragama Islam itu akan selalu menciptakan keselamatan bagi orang-orang di sekitarnya. Orang Islam tidak akan mengambil hak orang lain, tidak akan mengambil uang rakyat, tidak akan menyia-nyiakan amanat yang dipercayakan rakyat kepadanya, tidak akan menyakiti dan mendholimi rakyat.

Jika faktor keluarga mempengaruhi kualitas keagamaan seseorang, apakah Pak Kyai lupa bahwa sejarah telah menunjukkan bahwa anak kandung Nabi Nuh, bernama Kan’an, berani durhaka terhadap ayahnya. Abu Lahab yang tidak lain adalah paman Nabi Muhammad SAW justru menentang ajaran Islam yang dibawa keponakannya. Sebaliknya, Ibrahim sekalipun dilahirkan dari ayah yang penyembah berhala, namun ia sendiri justru tampil sebagai pembawa risalah kenabian. Artinya. Keluarga tidak menjamin keislaman dan kesalehan seseorang. Tetap kembali kepada pribadi masing-masing.

4."Barang siapa yang mengangkat pejabat publik, padahal dia tahu ada yang lain yang lebih baik, maka dia telah berkhianat pada Allah, rasul, dan agama," katanya.

Terjemahan hadits Nabi ini memang benar adanya, tapi menjadi tidak benar dan tidak pada tempatnya jika dalil itu digunakan sebagai alasan untuk memilih Foke. Sebab pengertian “yang lebih baik” masih perlu pengkajian yang mendalam, jika hendak disematkan kepada Foke. Beragama Islam dan lulusan S3 luar negeri bukan faktor penentu seseorang dikategorikan lebih baik. Ia baru akan diproklamasikan sebagai yang lebih baik jika ia sanggup menghadirkan sebesar-besar kemanfaatan bagi orang banyak.

5. Sementara kriteria ketiga, yaitu telah berpengalaman, Foke yang telah memimpin Jakarta tentu jauh lebih menguasai permasalahan Jakarta dibanding calon dari luar Jakarta. "Lagi pula Jakarta bukan Solo. Jakarta memiliki permasalahan yang jauh lebih banyak, dan hanya yang berpengalaman yang mampu mengatasinya," katanya.

Model seperti ini mengingatkan kepada era Orde Baru, bahwa syarat menjadi presiden adalah orang yang sudah berpengalaman. Saya jadi ingat pidato Ketua MPR Harmoko saat pelantikan Presiden Soeharto pada Sidang Umum MPR Maret 1998. “Tantangan ke depan sangat berat, karena itu kita tidak boleh main-main dengan masa depan. Kita hanya akan berani menyerahkan masa depan Negara ini kepada orang yang sudah berpengalaman…” Pola pikir Pak Kyai berarti melanggengkan kekuasaan. Pemimpin tidak boleh diganti selama masih hidup, karena yang mampu mengatasi persoalan hanyalah orang yang berpengalaman.

Saya tidak menemukan dasar syariatnya kenapa pemimpin harus sudah berpengalaman di posisi yang sama, sebab Abu Bakar sebelum menjadi Khalifah (baca: Kepala Negara, menggantikan Nabi Muhammad SAW.), beliau belum berpengalaman (menjadi Khalifah), Demikian halnya Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib juga belum berpengalaman.

Selanjutnya, soal perbandingan calon dari Jakarta dan Solo, seharusnya Pak Kyai tidak meremehkan orang dari latar belakang asalnya. Tentu Pak Kyai tahu materi pidato Nabi Muhammad SAW pada saat Haji Wada’ di Mina, yang mengatakan, “Ketahuilah, orang Arab tidak lebih unggul dibandingkan orang dari luar Arab. Orang Kulit Hitam juga tidak lebih unggul dibandingkan dengan Orang Kulit Merah. Yang mengunggulkan satu orang dibandingkan orang lain adalah ketakwaan. Sebaik-baik orang di antara kalian di mata Allah adalah yang paling bertakwa.”

6.Peran ulama itu seperti gembala. Setiap tokoh ulama wajib membimbing dan menuntun dalam kehidupan umatnya. Umat tidak boleh dibiarkan berjalan-jalan sendiri tanpa ada pedoman yang diberikan alim ulama, terutama pada proses pemilihan kepala daerah saat ini.

Seharusnya bimbingan dan tuntunan yang diberikan ulama bukan dengan menunjukkan harus memilih calon tertentu. Itu namanya memihak, tidak netral. Perangai seorang ulama bukan seperti itu. Jika Pak Kyai ingin berpolitik praktis, sebaiknya masuk ke partai politik.

Bimbingan yang bisa dilakukan Pak Kyai, misalnya:

  • Mengajak umat Islam untuk menggunakan hak pilihnya, karena sesungguhnya memilih pemimpin itu hukumnya wajib.
  • Mengingatkan para calon agar tidak menghalalkan segala cara demi meraih kemenangan dan menghambur-hamburkan uang yang tidak pada tempatnya, antara lain dengan menggunakan uang rakyat (APBD) untuk kepentingan pribadi (kampanye) meskipun dibungkus seolah-olah bagian dari program pemerintah, padahal uang sebanyak itu sangat dibutuhkan oleh rakyat miskin.
  • Menasehati para calon dan warga agar tidak saling menghina dan meremehkan sesama warga Negara dengan membawa-bawa isu SARA (suku, agama dan ras), karena Firman Allah dalam Surat Al-Hujurat Ayat 11: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena bolehjadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)…”
  • Menyerukan para calon dan warga agar menjaga persatuan dan kesatuan, melestarikan silaturrahmi serta memandang perbedaan sebagai rahmat untuk saling mengisi dan melengkapi, sebagaimana Firman Allah dalam Surat Al-Hujurat Ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.“

7."Jangan bilang orang Islam jika tidak memilih orang Islam lainnya," katanya.

Saya sepaham dengan Pak Kyai jika statemen ini dibaca supaya orang-orang Islam memilih pemimpin yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Nilai-nilai Islam itu antara lain menjaga amanat / kepercayaan rakyat sesuai pesan Nabi Muhammad SAW, “Jika amanat (kepercayaan) disia-siakan / di selewengkan, maka tunggulah saat kehancurannya. Lalu ada sahabat yang bertanya, apa maksudnya? Nabi menjawab: jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.”

Nilai Islam lainnya, seperti menjauhi sifat-sifat Munafiq yang dijelaskan Nabi ada 3, yaitu jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia mengingkari dan jika dipercaya ia berkhianat. Pemimpin yang Islami harus bersikap jujur, atau bersesuaian antara perkataan dan perbuatannya. Tidak suka mengobral janji saat kampanye tapi lupa setelah terpilih. Pemimpin Islami juga adalah pemimpin yang adil, mampu memperlakukan semua rakyatnya secara adil. Tidak boleh pilih kasih, berat sebelah, memandang orang dari bulunya, dari agama, suku dan rasnya. Rasulullah menegaskan bahwa  pemimpin yang berbuat adil dan menegakkan keadilan satu hari saja lebih baik daripada beribadah selama 60 tahun. Begitulah pentingnya keadilan bagi seorang pemimpin.

Selain itu, pemimpin yang Islami digambarkan Nabi dalam hadits berikut ini:

خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم، وتصلون عليهم ويصلون عليكم، وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم، وتلعنونهم ويلعنونكم

Artinya, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian serta pemimpin yang kalian doakan dan mereka mendoakan kalian. Sedangkan seburuk-buruknya pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci dan mereka membenci kalian serta pemimpin yang kalian kutuk (laknat) dan mereka mengutuk (melaknat) kalian”.

Nah, menurut saya, orang Islam yang berkriteria seperti inilah yang layak dipilih. Bukan pemimpin yang islam-islaman atau Islam KTP. Karena substansi memilih pemimpin sejatinya bukan sekedar yang penting ada pemimpin, tapi lebih dari itu, karena untuk mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Akhirnya, saya hanya bisa mengimbau supaya para ulama menjaga muruah (harkat dan martabat) sebagai pewaris Para Nabi. Tidak terlibat dalam dukung-mendukung calon, sebab semua calon adalah bagian dari umat yang harus diayomi secara adil. Posisi ulama laksana orang yang memegang payung, jangan miring ke kanan atau ke kiri, sebab jika terlalu miring ke kiri, nanti yang sebelah kanan akan kepanasan atau kehujanan, sebaliknya kalau condong ke kanan, nanti yang sebelah kiri yang kepanasan atau kehujanan. Berdiri dan berjalanlah yang tegap sehingga bisa mengayomi semua umat.

Wallahu a’lamu bish-showab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun