Kalau sudah menjelang hari raya, THR tentunya menjadi perbincangan hangat karena dinanti-nanti oleh para karyawan. Kalau THR gak cair, gimana mau berbagi dengan sanak saudara? kalau mengandalkan gaji semata, yang ada, bisa tekor deh! Apalagi bagi para pejuang UMR. Nah, ngomong-ngomong soal THR, sebenarnya ada engga sih aturan hukumnya? yuk kita bahas!
Tunjangan hari raya keagamaan atau dikenal dengan THR merupakan pendapatan non-upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/ buruh menjelang hari raya keagamaan. Hal itu tertuang dalam peraturan pemerintah nomor 36 tahun 2021 tentang pengupahan dan peraturan Menteri Ketenagakerjaan nomor 6 tahun 2016 tentang tunjangan hari raya keagamaan bagi pekerja/ buruh di perusahaan.
Tapi, karyawan atau pekerja yang seperti apa yang bisa mendapatkan THR? Dalam pasal 2 ayat 1 PERMENAKER no 6 tahun 2016, mereka adalah yang telah mempunyai masa kerja satu bulan secara terus menerus atau lebih. Menteri Ketenagakerjaan, IdaFauziah menjelaskan jenis-jenis status pekerja yang berhak mendapatkan THR diantaranya PKWTT atau Pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tentu, kemudian PKWT atau Pekerja dengan Perjanjian Waktu Tertentu, karyawan kontrak, buruh harian dan pekerja lepas seperti pekerja rumah tangga, tenaga honorer, hingga pekerja outsourcing atau alih daya.
Bahkan, khusus untuk PKWTT, jika mengalami PHK atau Pemutusan Hubungan Kerja terhitung sejak 30 hari sebelum hari raya keagamaan, maka tetap berhak mendapatkan THR lho.
Selain itu, masih dalam aturan PERMENAKER nomor 6 tahun 2016, pada pasal 8 tertulis bahwa jika pekerja dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa kerja berlanjut, maka Ia berhak atas THR pada perusahaan yang baru. hal itu dilakukan apabila pada perusahaan lama, pekerja yang bersangkutan belum mendapatkan THR.
Nah, hitung-hitungan THR ini juga ada aturannya. Hal ini bisa kita lihat dalam pasal 3 dan 4 PERMENAKER no 6 tahun 2016 dengan rincian sebagai berikut:
Pertama, pekerja/ buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar 1 bulan upah. Kedua, pekerja/ buruh yang mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan, maka diberikan secara proporsional sesuai dengan masa kerja dengan perhitungan, masa kerja dibagi 12 dikali 1 bulan upah.
Lalu, kapan para pekerja bisa mendapatkan THR? Pembayaran tunjangan ini dilakukan sekali dalam satu tahun sesuai dengan hari raya keagamaan masing-masing pekerja atau waktunya ditentukan lain sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja yang tertulis dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Nah, kapan tepatnya para pekerja bisa menerima tunjangan tersebut? Setidaknya paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan berlangsung.
Hal ini dipertegas kembali oleh Menteri Ketenagakerjaan bahwa THR wajib dibayarkan paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan berlangsung. Pemberiannya pun harus dibayar penuh dan tidak boleh dicicil. Oernyataan itu resmi dikeluarkan melalui surat edaran (m//hk.0400/iii/2023) yang dikirim kepada seluruh kepala daerah di Indonesia. Â
Namun pada kenyataannya, tidak semua pekerja atau buruh mendapatkan haknya ini. Bahkan, baru-baru ini, pemerintah mengeluarkan pernyataan kontroversial yang disampaikan oleh menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi (menpan-rb) abdullah azwar anas. Ia menegaskan bahwa pegawai honorer tidak akan mendapatkan THR pada tahun 2023 ini. Wah-wah kenapa kebijakannya bisa saling tumpang tindih begini ya?
Di sisi lain, khusus untuk PPPK atau Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja Guru, MENPAN RB menyebut adanya perbedaan THR. Mereka yang tahun sebelumnya tidak mendapatkan tunjangan kinerja atau tukin, tahun ini akan mendapatkan THR berupa tunjangan profesi sebesar 50 persen. Tapi sayangnya, untuk tenaga honorer, sama sekali tidak mendapat THR. Padahal, sebelumnya sudah ada aturan yang tertuang bahwa tenaga honorer berhak mendapatkan THR. Dan sejujurnya, merekalah yang patut diperhatikan. Sudahlah penghasilannya minim, tidak dapat pula. Cemana pula logika berpikirnya?
Lebih jauh lagi, dalam pasal 10 PERMENAKER nomor 6 tahun 2016 dan pasal 62 pp nomor 36 tahun 2o21 ditegaskan bagi pengusaha atau perusahaan yang terlambat atau tidak memberi THR, akan ada sanksinya! yakni dikenakan denda sebesar 5% dari total THR yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban pengusaha untuk membayar yaitu 7 hari sebelum hari raya keagamaan. Nah, pengenaan denda ini tidak lantas menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar THR kepada pekerja/ buruh. Selain itu, akan ada pula sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi dan pembekuan kegiatan usaha.