Ketika perpisahan tiba, pasti ada cerita.
Cerita cinta memang banyak bumbunya.
Karena kecewa, tidak terima, maka Ia mencari cara agar tampak sebagai orang yang menderita.
Rangkuman seolah dikhianati diramu hingga menyulut kepantasan pendengar.
Empati, itulah yang diharapkannya.
Hingga akhirnya, kawanan menganggap benar apa yang terlontar dari mulutnya.
Sekian tahun berlalu, tersangka mendengar langsung dari pendengar.
Emosi pasti ada.
Untungnya, sudah diprediksi.
Dan, begitu mudah menebaknya.
Ia pun berkata biarkanlah!
Memang, pecundang ada saja siasatnya.
Padahal kalau dia berkaca, mungkin tak retak.
Kepandaiannya merangkai kata memang menjadi pamungkas yang jitu.
Sayang, Ia gunakan untuk kepalsuan.
Itulah karakter.
Memang terkadang omongannya tinggi.
Agaknya bisa diterima karena mungkin sepadan dengan usahanya.
Tapi, muak kian meronta.
Hingga lenyap dalam rasa.
Menguntit sosial media, hanya itu yang Ia bisa.
Jangankan bertanya, berkomentar saja Ia tak mampu.
Ah, taringnya hanya segitu rupanya.
Tak sebanding dengan omongan tingginya.
Payah!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI