Ah, tidak sepatutnya aku khawatir akan kesejahteraan bangsaku! Apa peduliku? Jelas mereka bukan tanggungjawabku. Dalam hati kecilku berbisik, rasakanlah kemiskinan yang mengikat! Terjerat hutang sampai liang lahat. Mengapa pula harus resah akan nasib mereka? Wajahnya yang pucat, raganya yang lesu, pakaiannya yang lusuh, tempat tinggalnya yang beratap bambu, dan bicaranya yang kaku, jelas menunjukkan diri mereka yang bukan siapa-siapa. Lagi-lagi, apa peduliku!
Sia-sia aku memikirkan segala yang masuk dalam kerongkongan mereka. Mau itu nasi, ayam, babi, angin, atau ludah yang berulang ditelan karena tak sanggup membeli, bukanlah urusanku!
Mungkin leluhurku dulu ada yang begitu. Tapi jelas karena mereka malas, lalu pasrah, dan menyimpulkan bahwa itu memang sudah nasibnya. Jangan pernah samakan aku dengan mereka. Hidupku keras! Bahkan sebelum matahari terbit, aku sudah bergegas. Tak kubiarkan lelap singgah. Aku menikmati waktu yang tiada henti. Tak akan kusia-siakan dunia ini. Dengan begini, aku bisa memiliki segala yang hanya segelintir orang punya. Tapi, biarlah kutabur sedikit semangat. Walau kutahu orang seperti mereka tak akan mampu menandingiku.
Di sisi lain, aku cukup terpukau pada anak-anak yang mencoba masuk perangkapku. Terkadang aku tak menyangka jika mereka mampu mengikuti gaya hidupku. Padahal orang tuanya seringkali berdebat harga dengan penjual tomat. Tapi, Lihatlah banda dengan logo ternama yang menempel di kulitnya. Walau tidak begitu cocok dengan rupanya, paling tidak mereka berupaya. Benar-benar hebat! Satu persatu bersikeras menyerupaiku. Baguslah!
Bagaimana mungkin mereka tidak larut dalam kemewahanku? Lihatlah mobil yang kumiliki. Berplat emas dan begitu canggih dengan ragam teknologi di dalamnya. Cukup dengan mengedipkan mata, pintunya pun terbuka. Bahkan, teman sejawatku terpesona kala mencoba fitur interiornya. Maka jangan heran, banyak orang penasaran dengan hartaku.
Pernah aku membuat konten dengan pengikutku. Saking gugupnya, Ia kencing di celana saat duduk berdampingan denganku. Tapi, itulah momen yang sebenarnya aku tunggu. Aku pun tak perlu bersiasat agar kanalku semakin mencuat. Selain ingin memperlihatkan betapa canggihnya mobilku, orang pasti akan menilai betapa legowonya diriku karena tak cemas apalagi berang dengan apa yang terjadi. Aku coba menenangkannya dan lihatlah, joknya bisa mengelupas dan berganti secara otomatis.
Beruntunglah mereka yang terus menonton kanalku. Asal kalian tahu, terkadang rasa ibaku muncul. Maka, kubiarkanlah mereka melihat apa yang aku miliki. Paling tidak, mereka terpecut untuk lebih maju. Kali ini aku ingin memperlihatkan betapa berharganya kancutku yang bertabur berlian dan bahkan hanya satu-satunya di dunia. Ya, walau kutahu, mereka tak akan sanggup membeli walau dikumpulkan segala harta nenek moyangnya.Â
Di tengah apa yang kumiliki, sudah pasti banyak yang iri. Namun apa yang bisa mereka perbuat? Hanya mencibir berkepanjangan. Bersainglah kalau mampu. Berlagak seperti orang suci. Padahal hidup masih menuntut subsidi. Ah, buang-buang waktu saja. Biarlah mereka pelihara itu!
"Hey jangan lupa, unggah apa yang kuberi pada tukang sapu itu!" ujarnya seraya mengisap cerutu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H