Sebagai negara demokrasi, wajar saja menyampaikan protes apabila kebijakan dinilai kontroversi. Penetapan regulasi yang dinilai lebih berpihak ke mereka yang berdasi, tentu menjadi pemicu berbagai penolakan yang seringkali didengar namun lebih nikmat dibiarkan bak komedi putar. Walau begitu, rasa abai yang berlebih tak menghentikan ruang berpikir warga yang gemas hingga gemetar kala menyaksikan proses pengambilan keputusan yang kurang transparan. Oleh sebab itu, unjuk rasa pun menjadi pilihan. Dengan satu tujuan, berbondong-bondong masyarakat menuju Ibukota demi menyampaikan keberatan. "Entah hasilnya berubah atau tidak, terpenting  ada pergerakan" Teriak tejo sebagai pemimpin demonstran dari Bekasi timur.
Ratusan bahkan ribuan warga yang biasanya turun ke jalan berasal dari berbagai kalangan. Mulai dari mahasiswa, buruh, pekerja lepas, pengangguran, hingga orang-orang yang sengaja dibayar untuk menggaungkan keributan juga turut meramaikan. Mereka berjalan dengan beragam slogan yang tertulis di kardus, kain panjang berwarna kelam dengan tulisan satir bercorak kemerahan, bahkan ada yang rela menuliskannya di punggung dan dada yang terlihat kering kerontang.
Awalnya berjalan lancar, damai, bahkan saat suara adzan terdengar, indah sekali menyaksikan sebagian muslim menyempatkan diri untuk shalat berjamaah di tengah terik aspal Jakarta. Usai mengucap salam, terdengar seorang demonstran yang sengaja mendoakan dengan keras namun terasa serak sambil terisak agar para pengambil keputusan mendapat hikmah, tersentuh, hingga mengambil langkah yang semestinya menguntungkan rakyat bukan pengkhianat. Ratusan demonstran bahkan yang tak shalat pun turut serta mengikuti lantunan doa tersebut. Kobar semangat dalam doa semoga didengar pencipta.
Sayangnya, harapan untuk damai ternyata tak terjadi hingga akhir perjuangan. Segelintir pengunjuk rasa mulai panas karena ada lemparan botol berisi air kencing yang mengenai kepala seorang demonstran lalu menyiprat ke mereka yang berada di sekitar. Meski tidak jelas dari mana arah datangnya, beberapa di antara mereka terpancing emosi dan langsung menyerang ke arah polisi. Lemparan batu pun mengudara hingga mengenai tameng para polisi. Dengan amarah yang tak bisa ditampung lagi, sebagian dari mereka menghujani pengayom negeri dengan lemparan batu, adapula yang berlari mendorong barisan polisi untuk menerobos pintu masuk menuju ruang sejuk berkursi empuk.Â
Setelah berupaya sabar, sebagian di antara pengaman pun tak mampu mengendalikan emosi dan menangkap salah satu demonstran. Kemarahan semakin menjadi-jadi hingga berujung anarki. Fasilitas umum yang tidak salah pun, terpaksa menjadi korban. Rumput yang nikmat dipandang, rusak diperkosa kaki-kaki yang sudah bingung kemana harus berlari. Entah demonstran atau polisi.Â
Keributan terjadi. Terik matahari menjadi saksi. Adapun mereka yang diprotes, duduk memantau di kursi yang kali ini sengaja diputar ke kaca luar. Sambil memantau, rupanya suapan nasi padang tak menghalau kenikmatan.Â
Sementara di ujung desa terpencil, huru-hara terdengar bising dari kuping ke kuping. Meski minim literasi, bahkan tidak begitu mengetahui penggunaan teknologi, informasi dapat berjalan meski ada gula-gula diselipan. Walau tidak begitu mengerti tentang apa yang dipertentangkan, mereka tetap komat kamit dalam doa. Berharap, mereka yang berjuang diberi perlindungan dan kesabaran, mereka yang berjaga diberi ketenangan, dan mereka yang berkuasa diberi kesadaran. Sadar bahwa hidup adalah sementara dan rasa cukup menjadi obat segalanya.Â
Sore hari di Rende, Selatan Italia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H