Saat itu, seorang bernama nameis menjemputku di terminal Bus Reykjavik. Berperawakan riang, terkaannya macam orang pedalaman, tanpa sandal dan lompat menghantarkan pelukan padahal aku agak khawatir karena takut dikira sebagai pembawa virus. Maklum, sebelumnya Italia sebagai negara tempatku belajar, pernah menduduki posisi pertama dengan jumlah korban positif terbanyak. Ternyata, dia menghiraukan tosku dan membuka lebar lengan seraya menyambut kedatangan.
Setelah melihat suasana di Ibukota Islandia terutama saat keluar dari zona bandara, aroma covid sama sekali tidak tercium. Tidak ada warga lokal yang mengenakan masker baik di perjalanan, pusat kota, maupun tempat perbelanjaan. Mungkin karena Islandia termasuk negara paling aman dari serangan virus ini. Menurut data Worldometers, hingga hari ini tercatat 10 orang meninggal dunia dengan total kasus positif sebanyak 2.174 jiwa. Selama dalam bayang-bayang Covid, aku sempat melipir ke beberapa negara eropa, hampir rata-rata menerapkan protokol dengan harus mengenakan masker di tempat publik khususnya di transportasi umum dan tempat perbelanjaan.
Di perjalanan, kami bercerita banyak hal. Mulai karakter, alam, suasana, sampai hal rinci yang pada umumnya tidak menarik bagi kebanyakan orang. Dia pun kaget kenapa aku ke sini. Karena menurutnya tempat aku akan tinggal untuk mencari pengalaman berada jauh dari kota. "nanti bosan lho" ujarnya. Menurutku, dimanapun kita berada, bosan pasti akan mampir. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Tsah!
Pada suatu waktu, aku ikut dia mengembalikan alat berat pemotong rumput di dekat pusat kota. Kemudian, mobil mengarah ke supermarket. Aku kira dia mau belanja sesuatu. Ternyata, dia memarkirkan mobil di belakang gudang supermarket. Dia bilang tunggu sebentar, aku mau cek sesuatu. Karena penasaran, maka aku pun ikut. Di dalam hati sebenarnya agak kaget, "waduh ini orang ngapain ya?". Tapi dengan pembawaan yang biasa saja, aku pun sok asik ikutserta. Ternyata dia mengambil roti yang sudah mau kadaluarsa. Packagingnya masih bagus, diletakkan di tumpukan rak yang rapih, dan aku ikut memilah. Wah tidak hanya roti, dia banyak dapat harta karun semacam cheesecake, saus mayo, biskuit, dan lain-lain. Dengan agak ragu, aku pun coba mencicipi cheesecakenya. Ternyata rasanya enak banget, tidak bau, dan terlihat bersih karena masih tertutup rapat.
Saat pulang, aku tidak mempertanyakan mengapa dia ngambil makanan tersebut karena yakin sekali bahwa dia merupakan hippie yang sebenarnya. Ia menolak kaum borjuis dan konstruksi sosial di bawah aturan pemerintah, dan makanan serta minuman yang dia racik berasal dari hemps yakni tanaman yang seringkali dianggap sama dengan ganja. Meski masih satu keluarga dengan cannabis sativa, hemps biasa digunakan untuk industri non-obat. Tanaman ini kaya akan nutrisi dan ternyata ada banyak sekali kegunaannya. Dalam dunia fashion, hemps juga bisa menjadi alternatif untuk membuat pakaian, bahkan minyak bijinya bisa dijadikan bahan bakar diesel berkualitas dan berbagai industri ramah lingkungan lainnya. Menurut Lingkar Ganja Nusantara, perbedaan utama kedua tanaman tersebut terletak pada kadar Tetrahydrocannabinol (THC). Saking cintanya dengan tanaman ini, bahkan dia membudidayakan tanaman itu di kamarnya. Wow!
Saat berbicara perihal nama, menurutnya tidaklah penting arti sebuah nama. Jadi, aku yakin bahwa nameis itu bukanlah nama sebenarnya. Jadi, kupanggil dia samin. Hidupnya sangat simpel, tidak berharap kaya raya, hanya bersandar pada hasil alam dan bagaimana bisa memanfaatkan yang ada dengan bijaksana, serta berbagi. Dari samin, aku belajar banyak hal. Memang kita butuh uang tapi uang bukan segalanya. Jika uang tidak ada, kita masih bisa bertahan apabila alam terjaga. Tapi kalau alam yang hilang, maka mahluk pun binasa. Terima kasih Samin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H