Mohon tunggu...
Anita Sari
Anita Sari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Rain-Coffee-and Hope- tiap sudut kota selalu mempunyai cerita sendiri ....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Kamu

16 Maret 2014   06:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:53 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tentang Kamu

Hampir 2 jam aku duduk termenung di kursi ini. Cahaya temaram di langit-langit coffee shop mengajakku bernostalgia akan masa lalu. Sendiri itu sepi. Tapi saat ini aku sedang ingin sendiri saja. Kulihat sekeliling coffee shop. Mereka bercengkrama, bercanda, tertawa, dan aku hanya sanggup mengamati. Mereka dengan kesibukan masing-masing, dan aku lebih memilih untuk menikmati kesendirianku.

Aku jenuh mencuri-curi kesempatan mengamati mereka agar tak tampak menantang. Kini kupalingkan wajahku, jauh menatap langit. Coffee shop ini salah satu favorite ku. Selain tempatnya jauh dari keramaian, tempat ini terbuka, bentangan ladang nan hijau mejadi pemandangan tambahan yang menawan. Dan saat senja adalah yang kutunggu. Torehan jingga dan semilir angin mampu membawaku seakan terbang bersama sekerumunan angan.

“Ini pesanannya mbak.” Seorang pelayan kembali menyuguhkan kopi pesananku untuk yang kedua kalinya.

“Terima kasih.” Jawabku dengan senyum.

Kuhirup aroma kopi kesukaanku tersebut. Aromanya selalu membumbungkan kenangan, cerita pada suatu masa. Sedih ketika harus mengenang sendirian. Tapi aku sedang ingin sendirian.

Bunyi nada SMS pada handphone membuatku mengakhiri lamunan sejenak. Aku tersenyum kecil ketika membaca pesan yang baru saja kuterima.

Apa kabar, Ren? Tertulis nama Deny di pesan tersebut. Aku masih berpikir apakah harus menjawab pertanyaan basa-basi itu atau tidak. Untuk apa kalau dia sudah tahu kabarku? Apa lantas akan mengubah semuanya? Batinku dalam hati. Aku kembali tersenyum kecil.

Deny, dia baru saja menikah bulan lalu dengan wanita pilihan orang tuanya. Hubunganku dengannya tak bisa berlanjut. Aku melepaskan Deny dengan wanita itu. Sungguh aku tak rela, tapi aku harus bisa. Pada hari pernikahannya pun aku tak berani menampakkan diri.

Rena, apa kamu sedang sibuk? Bolehkah aku meneleponmu?

Kembali Deny mengirimkan SMS padaku. Aku masih dikelilingi dilema, satu sisi diriku ingin menanggapi, tapi sisi yang lain seolah tak memperbolehkan. Aku tidak mau ada kontak lagi dengan Deny. Aku ingin menghapus namanya dari memori otakku. Tapi kenapa dia seakan selalu mencariku.

Handphoneku berbunyi. Benar saja, Deny nekat meneleponku. Aku mulai gelisah, seolah Deny merayuku, memaksaku untuk mengangkat panggilan darinya.

“Hey, kenapa tidak kamu balas SMS ku? Aku hanya ingin tahu kabarmu? Aku merindukanmu Rena. Apa kau tahu, kabarku tidak baik disini. Rumah tanggaku sangat kacau. Aku ingin bertemu denganmu Ren…”

Suara Deny terisak diseberang sana. Aku tak sanggup berkata-kata. Aku hanya diam, dan kuakhiri panggilan tersebut. Aku tahu Deny masih berharap agar bisa kembali denganku, akupun begitu. Tapi skenario kami ini tidak disetujui oleh-Nya. Ada hal yang memang tidak bisa untuk dipaksakan walaupun sangat diinginkan.

Aku menengadah, menatap langit yang hanya berbintang redup tanpa rembulan. Aku hanya berharap semua akan baik-baik saja. Aku sedang mencintai kesendirianku seperti ini. Kemudian kunikmati kembali kopi yang mulai dingin dihadapanku.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun