Setelah acara tujuh bulanan Marni kembali pulang ke Kota bersama Suaminya, membawa harapan baru untuk menyelesaikan kuliahku. Sepanjang perjalanan naik kereta api dia tak lagi mempedulikan cibiran orang yang menelisik dengan pandangan aneh padaku. Dia juga mulai belajar untuk membangun komunikasi yang lebih baik dengan sang suami, melihatnya sebagai sosok suami yang seharusnya dihormati dan jadi tempat untuk bersandar.
Begitu pun dengan suaminya, sikapnya lebih baik kepada Marni. Meskipun tak serta merta wataknya yang mudah tersinggung berubah, tetapi keinginannya untuk menjaga Marni dan anak yang ada dirahimnya dapat dirasakan Marni. Perhatiannya juga terasa lebih jika dibandingkan beberapa bulan sebelumnya. Marni benar-benar belajar untuk membaca semua perubahan positif yang ada pada suaminya. Dia juga berusaha untuk mengimbanginya dengan bersikap lebih menghargai suaminya.
Kesibukan Marni dikampus juga mulai bertambah, setelah dipercaya oleh dosen senior untuk membantu beliau dalam kegiatan penelitian yang sedang dilaksanakan. Kemahiran Marni mengoperasikan komputer juga bermanfaat untuk melatih beberapa teman yang belum mengenal komputer. Selain itu, Marni juga membuka jasa membuatkan makalah untuk teman-teman dan mendapat imbalan uang yang sangat bermanfaat untuk menopang biaya kuliahnya, karena Bapaknya sudah tidak mau membiayai kuliahnya dan dia tidak bisa mengajukan beasiswa karena sudah berstatus menikah.
Tak terasa semester genap dapat Marni lewati dengan baik, saat itu sudah mendekati hari perkiraan lahir. Disaat sedang libur semester akhirnya sesuai perkiraan bidan, Marni melahirkan seorang putri yang cantik. Tidak ada kesulitan yang berarti. Marni bahkan tak mengalami kontraksi seperti yang ada dibuku pemeriksaan kehamilan yang didapat dari puskesmas. Waktu itu Marni masih asyik mengupas manga dengan kakak ipar dan adik iparnya, tiba-tiba saja berasa ingin buang air kecil, tapi tidak bisa dia tahan. Setelah ke kamar mandi, Marni masuk ke kamar, adzan maghrib baru saja berkumandang. Suaminya sedang asyik menonton televisi yang menyiarkan pertandingan bola.
Dikamar Marni kembali berasa buang air kecil, tetapi benar-benar tak tertahankan, hingga akhirnya Marni mengompol dikamar. Sayangnya air yang keluar tidak kunjung berhenti, Marni mulai panik, kebetulan ibu mertua sedang lewat didepan kamarnya, spontan Marni memanggil beliau, "Buuu," katanya sambil menahan air yang terus keluar. "Gimana, Mbak?" tanya ibu. "Saya kok pipis tapi gak berhenti-henti, ya?", jawab Marni sedikit malu. "Lho, sejak kapan? Jangan-jangan itu ketuban, mbak, ayo segera ke puskesmas," ujar Ibu panik dan langsung memanggil suaminya.
Marni mengikuti saran ibu mertua, karena ini pengalaman pertama, jadi Marni tidak berani ambil resiko untuk ngeyel. Suaminya juga langsung bersiap-siap untuk mengantarkan. Karena sudah malam, mereka terpaksa jalan kaki ke puskesmas setelah memastikan bahwa Marni masih kuat berjalan, bahkan Marni masih meminta suaminya untuk mampir ke pasar sekedar membeli kue bandung untuk camilan di puskesmas nanti.
Sampai di puskesmas sudah hampir jam tujuh malam. Marni langsung dibawa masuk ke ruang periksa. Oleh Bidan yang memeriksa, disampaikan kalau sudah bukaan empat. Marni terkejut karena tidak merasakan prosesnya. Bidan menyarankan supaya Marni tetap di tempat tidur dan mengatur pernafasan agar saat persalinan tidak kesulitan. Marni mengikuti saja saran dari bu Bidan yang baik hati. Marni meminta suaminya untuk menemaninya berbincang sambil mengudap kue bandung yang tadi dibeli. Tiba-tiba ada kontraksi yang dia rasakan, waktu itu sudah pukul sebelas malam. Bu Bidan kembali memeriksanya, ternyata sudah bukaan delapan. Bu Bidan kemudiam mempersiapkan peralatan persalinan yang dibutuhkan dengan dibantu beberapa perawat yang jaga malam itu. Tepat pukul 12 lebih lima menit , lahirlah putri pertamanya. Alhamdulillah, lahir normal dan sehat. Suka cita yang Marni rasakan luar biasa. Tak ada penat ataupun Lelah yang Marni rasakan yang ada hanya senang dan bahagia.
Disaat Marni di puskesmas menanti saat persalinan dengan tenang dan tanpa keluhan berarti, ternyata yang terjadi dirumah mertua kebalikannya. Sejak Marni berangkat dengan suaminya, Bapak mertua tiba-tiba merasakan sakit perut yang sangat dan diare yang tak kunjung berhenti sepanjang malam. Itulah yang menyebabkan tak satupun keluarga suaminya yang menemani mereka di puskesmas. Diare dan rasa sakit yang dialami Bapak baru berhenti setelah mendapat kabar bahwa Manri telah melahirkan. Paginya Bapak menyempatkan mampir ke puskesmas sebelum berangkat kerja untuk sekedar memberikan ucapan selamat dan menengok cucu perempuannya.
Terlihat raut bahagia diwajah Bapak ketika menggendong putri Marni. Beratnya 3,5 kg dengan panjang 50 cm lebih terlihat bayi seumuran 2 bulan daripada bayi baru lahir. Beruntung ASI Marni waktu itu langsung keluar meski belum lancar dan si cantik juga cepat sekali belajar menyusu, jadi tak ada kendala berarti untuk seorang pemula sepertinya. Marnibersyukur sekali dimudahkan semuanya oleh Allah. Ya, Allah tak akan menghukum hambanya berlebihan meskipun ia bersalah, asalkan ia mau bertobat dan memperbaiki diri, Marni yakin sekali akan hal itu karena Marni membuktikannya sendiri.
Marni meminta suaminya untuk menyampaikan kabar bahagia ini ke keluarganya didesa. Saat itu tahun 1998 belum banyak orang yang menggunakan gawai. Suaminya menelepon dari tempat kerjanya kepada salah seorang kerabat Marni didesa yang memiliki telepon rumah. Esok harinya yang sampai lebih dulu adalah Emak (nenek dari bapak Marni) dengan salah seorang tantenya. Emak sangat antusias untuk segera bertemu dengan cucu buyutnya yang pertama. Maklum Marni cucu pertama di keluarga Bapak maupun Ibunya. Begitu sampai di Puskesmas Emak nampak bahagia sekali, tak nampak raut marah apalagi benci. Marni merasa lega karenanya. Hanya saja Marni masih berharap orang tuanya juga menjenguknya, meski Marni tak berani berharap lebih, mengingat mereka sangat kecewa dengan apa yang telah Marni lakukan.
Hari kedua setelah proses persalinan, suaminya diberitahu bahwa Marni sudah boleh pulang kerumah karena kondisinya yang sehat, juga si cantik. Setelah mengurus administrasi sebesar Rp. 114.000,00 mereka diperbolehkan untuk meninggalkan puskesmas. Sampai dirumah mertua, hanya Bapak dan Ibu mertua yang kelihatan bahagia menyambut kepulangan mereka. Saudara iparnya yang lain entahlah, tak ada sambutan yang istimewa untuk mereka. Marni tak begitu memikirkan semua itu, apalagi saat itu Emak dan tante masih mendampingi Marni, jadi Marni sedikit terhibur.