Saya sempat tergelitik saat membaca running text di salah stasiun TV Indosiar yang menuliskan anak pahlawan Ismail Marzuki hidup serba kekurangan.Lalu tadi buka Detik.com berita tentang nasib anak pahlawan itu juga ada lengkap dengan fotonya.
Setelah saya baca, anak pahlawan Ismail Marzuki itu bernama Rachmiaziah Ismail Marzuki. Punya empat anak yang sudah berkeluarga dan hidup terpisah dari Rachmiaziah serta suaminya yang sudah pensiun. Ia dan suaminya saat ini mendiami rumah kontrakan tipe 45 di Perumahan Bappenas, Blok A 12, Cinangka, Wates, Sawangan, Depok.
Sejak pertama saya lihat running text beberapa hari itu, langsung saya heran dan bertanya-tanya. Ditambah lagi dengan membaca berita di detik.com. Memangnya ada apa dengan anak pahlawan ? Apa karena dia anak pahlawan harus diistimewakan ? Harus ditanggung kehidupan ekonominya oleh Negara ? Atau jangan-jangan wartawannya saja yang ‘kurang kerjaan’ membuat berita ‘kacangan’ itu !
Yang pahlawan dan berjuang kan Bapaknya, bukan anaknya. Apakah jika sang Bapak sudah berjuang, lalu jasa dan ‘tanda matanya’ bisa diwariskan kepada anak cucunya. Lha kok manis ! Kenapa tidak mewarisi ideologinya saja. Semangatnya saja, kalau memang anak biologisnya.
Okelah, jika beberapa waktu lalu ada janda pahlawan yang menangis ‘darah’ karena rumah yang ia tempati di masa tua akan diambil paksa pemerintah bahkan harus diselesaikan di pengadilan. Dan saya rasa si janda memang pantas ‘berjuang’ untuk mendapat ‘tanda mata’ sebagai akibat dari perjuangan suaminya pada masa-masa sulit saat hidup bersama di zaman perjuangan.
Lha anaknya pahlawan ? Zaman sudah berubah seiring dengan selesainya tugas perjuangan orang tuanya. Jika memang anak pahlawan ini ‘menjerit’ karena tidak kuat menanggung beban hidup sebagai ‘kontraktor’ di masa tua, kenapa di massa muda dan jayanya tidak mengeluh saja ? Toh, saat muda dan berjaya ia tetap menyandang gelar anak pahlawan. Nanggung !
Yang lebih heran lagi, apakah anak-anaknya Ibu Rachmiaziah ini yang notabene juga cucunya pahlawan Ismail Marzuki tidak merasa ‘berkewajiban’ gotong royong ‘membantu’ orang tuanya ? Sampai-sampai ‘tidak bisa’ urunan membantu membayar uang kontrakan rumah orang tuanya.
Saya berdoa, mudah-mudahan yang saya tulis ini benar-benar prasangka buruk saya karena gemas setelah membaca berita anak pahlawan yang kesusahan ini. Kenapa empatnya anaknya tidak diwawancarai oleh wartawannya ? Biar prasangka buruk saya ini sirna. Tapi sekali lagi saya mencoba berpikir nakal, bahwa wartawan yang meliput ‘kasus’ ini karena kurang materi menulis berita.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H