Beberapa bulan ini, tiba-tiba saya teringat dengan methil. Ini bukan istilah untuk menunjuk unsur kimia, methyl. Methil yang saya maksud adalah tradisi purba masyarakat Jawa (khususnya daerah Madiun tempat saya lahir) yang dilakukan menjelang panen padi raya.
Peristiwa itu saya jalani dan lihat saat saya masih kecil. Kira-kira saat itu nongkrong di TK Dharma Wanita atau terkenal dengan TK Lumbungan (karena lokasinya bersebelahan dengan lumbung padi yang dikelola pemerintah desa).
Saat padi di sawah menguning dan siap panen, maka pada pagi-pagi buta sebelum batang padi dibabat, almarhumah Ibu saya sudah khusuk di dapur. Biasanya beliau mulai tune in di dapur sekitar pukul 3 dini hari. Bau asap dan gemeretak kayu bakar yang diadu dengan brambut (sekam padi kering), membuat beberapa ruangan di rumah kami penuh asap dan bau sangit.
Tidak ada yang istimewa dari masakan Ibu untuk merayakan hari panen padi atau methil itu. Hanya nasi gurih yang dikepal-kepal beberapa bulatan. He..he….kalo tidak salah di restoran Jepang namanya Onigiri. Lalu urap-urap sayur atau kami menyebutnya krawu, sayur tahu tempe pedas, ayam panggang, telur bumbu merah dan ikan asin sebagai pelengkap.
Semua masakan itu diletakkan di dalam tumbu atau bakul besar lengkap dengan lembaran lembaran daun pisang yang dipetik di belakang rumah. Lalu dibawa ke sawah yang hendak siap panen. Oh ya, tak lupa ibu juga menyiapkan beberapa takir (daun pisang yang dibuat wadah) di isi irisan daun pandang, beberapa kelopak mawar, telur ayam kampung dan injet (bukan inkjet!) atau batu gamping yang dicairkan. Hampir lupa ! Merang atau batang padi yang sudah kering juga dibawa.
Maka, beberapa takir dan merang tadi diletakkan di beberapa sudut petak sawah. Tentu saja merangnya di bakar di dekat takir. Saya agak lupa, siapa yang memberi doa dalam moment sakral itu. Apakah pak kyai atau pak modin ?
Nyatanya, tradisi hindu pada islam di Jawa memang tidak bisa ditinggalkan. Kemenyan dan asap, selalu ada pada setiap ritual. Bahkan saat hari pernikahan adik saya februari lalu, masih ada saja tetangga-tetangga yang rewang (membantu) meletakkan beberapa takir dan encek berisi pisang dua tandan, kopi dan nasi dibungkus daun pisang, di sudut-sudut rumah kami. Saya ndak berani negur dan sadis mengatakan kalau perbuatan itu bid’ah ! Syirik ! Hiks ! Tapi hanya bercanda mengatakan, kalau itu adalah untuk roh ibu saya, kayaknya ibu ndak doyan makanan lagi ! Mendingan buat yang lapar di sini saja.
Kembali ke methil. Setelah merang dibakar dikelilingkan ke petak sawah yang hendak dipanen, pada saat itu lah saya girang bukan main. Karena bisa makan ayam panggang dan nasi gurih ! Pada saat itu, saya dan adik serta kakak sangat jarang makan daging ayam. Hampir tiap hari disuguhi tempe, kerupuk dan sambel serta sayur yang dipetik dari belakang rumah. Kata ibu, kami harus prihatin ! Hiks !
Tiba-tiba saya teringat methyl karena ingat ibu. Dan dari situ jadi berpikir, kapan terakhir tradisi methilterakhir ada di desa kami ? Sudah lupa ! Karena sekarang, waktunya panen tinggal babat habis ! Dibawa pulang ! Ditimbang ! Dijemur ! Cukup !
Tak ada lagi methildan bau gemeretak kayu baker serta sangit di dapur. I miss you, Bu’ !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H