Mohon tunggu...
anitameylanwulandari
anitameylanwulandari Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pentingnya Keterwakilan Perempuan dalam DPR/DPRD

25 November 2024   19:02 Diperbarui: 25 November 2024   20:01 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

                                                    PENTINGNYA KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM DPR/DPRD

                                   I. PENDAHULUAN
    Saat ini, dalam proses demokratisasi di Indonesia, kehadiran dan partisipasi perempuan dalam lembaga legislatif serta institusi publik untuk pengambilan keputusan politik dan perumusan kebijakan publik sangat dibutuhkan. Partisipasi politik perempuan merupakan wujud dari pemenuhan hak-hak kewarganegaraan mereka. Sebagai warga negara, perempuan berhak untuk berperan aktif dalam memperbaiki kehidupan politik, sehingga tidak perlu ada diskriminasi terhadap mereka dan kelompok minoritas lainnya. Namun, kenyataannya di dunia politik masih terjadi dominasi peran publik oleh laki-laki. Dominasi ini mengakibatkan perempuan tidak memiliki cukup ruang untuk menyampaikan gagasan-gagasan politik mereka, termasuk dalam hal partisipasi politik. 

    Pembahasan mengenai peran perempuan dalam politik telah dibahas oleh banyak pihak dan sering kali menimbulkan perdebatan panjang. Dalam konteks perempuan dan laki-laki sebagai warga negara, masyarakat, atau penduduk suatu negara, seharusnya keduanya memiliki hak dan kewajiban yang setara. Namun, pada kenyataannya, perempuan sering dipandang sebagai warga negara kelas dua, seolah-olah mereka tidak berkontribusi atau berminat untuk terlibat dalam politik. 

    Meskipun ada kemungkinan bagi perempuan untuk masuk dalam bidang politik, hal itu jarang terjadi karena berbagai alasan. Faktor utamanya adalah stereotip bahwa dunia politik adalah dunia publik, keras, penuh debat, dan pikiran cerdas yang dimiliki oleh laki-laki, dan bahwa perempuan tidak pantas berpolitik karena mereka adalah "penghuni" dapur dan rumah, tidak dapat berpikir rasional, dan kurang berani mengambil risiko. Akibatnya, masyarakat secara keseluruhan, baik laki-laki maupun perempuan, sudah menarik kutub yang berbeda: dunia domestik milik laki-laki dan dunia publik milik perempuan.

                                    II. PEMBAHASAN
1. Pentingnya Keterwakilan Perempuan Dalam DPR/DPRD
       Keterwakilan perempuan di lembaga legislatif seperti DPR/DPRD merupakan aspek mendasar dalam mencapai demokrasi berkualitas di Indonesia. Anggota parlemen perempuan cenderung lebih aktif memperjuangkan permasalahan kesejahteraan masyarakat, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan perlindungan anak. Keterwakilan perempuan berarti memberikan kesempatan dan status yang sama kepada perempuan di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, partai politik, dan pemilihan umum (Icha Cahyaning Fitri 2019). Keterwakilan perempuan di badan legislatif tidak hanya merupakan prasyarat utama untuk mencapai
kuota tetapi juga untuk demokrasi yang berkualitas dan inklusif. 

     Meningkatkan partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia memerlukan upaya sistematis dan berkelanjutan dari berbagai pemangku kepentingan. Keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia dijamin oleh beberapa instrumen hukum. UU No.7 Pemilu bulan Juli 2017 menetapkan kuota minimal 30% perempuan dalam daftar calon anggota parlemen. Kebijakan ini merupakan bentuk tindakan positif untuk meningkatkan partisipasi politik Perempuan (Jayani et al. 2024).

2. Angka Keterwakilan Perempuan Dalam Anggota DPR/DPRD di Indonesia
    Perkembangan keterwakilan perempuan di DPR RI telah menunjukkan tren yang menggembirakan sejak era reformasi dimulai, dengan peningkatan yang signifikan dari periode ke periode. Berdasarkan data Puskapol UI (2021), representasi perempuan di parlemen mengalami kenaikan bertahap dari hanya 9% pada periode 1999-2004, kemudian meningkat menjadi 11,8% di periode 2004-2009, berlanjut ke angka 17,32% pada periode 2014-2019, dan akhirnya mencapai 20,5% pada periode 2019-2024. Peningkatan bermakna ini
tidak terlepas dari implementasi kebijakan afirmasi yang efektif serta tumbuhnya kesadaran politik di kalangan perempuan Indonesia.


3. Dampak Terpenuhinya Kuota Keterwakilan Perempuan dalam DPR/DPRD
   Kehadiran kebijakan keterwakilan perempuan dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 dan UU Nomor 10 Tahun 2008 menetapkan keterwakilan 30% perempuan di politik. kebijakan ini merupakan hal yang esensial untuk dilaksanakan sehingga tidak dapat di hiraukan begitu saja. Dengan terpenuhinya kuota yang disediakan ini, maka akan memberikan beberapa
dampak positif diantaranya:
  a) Meningkatnya Partisipasi Perempuan dalam Bidang Politik
       Kebijakan ini memberikan kesempatan kepada perempuan untuk turut andil berpartisipasi serta memiliki hak yang sama dalam                  mengetahui dan menyelesaikan permasalahan negara, dapat menyuarakan hak-hak perempuan serta mewujudkan kesetaraan                    gender dalam politik. Kebijakan ini juga akan mendorong perempuan untuk menunjukkanserta mengimplementasikan                                    kemampuannya dalam dunia politik (Ida Syafriyani, 2024). Secara umum memang partisipasi perempuan tidak hanya dalam                        bidang politik, dewasa ini banyak sekali bidang-bidang yang perempuan ikut andil didalamnya seperti pendidikan, pertanian,                      dan perekonomian. Akan tetapi memang dalam bidang politik ini belum banyak perempuan yang ikut andil didalamnya, karena                    beberapa faktor. Oleh karena itu Partisipasi perempuan dalam politik harus didukung terus menerus agar mencapai kesejahteraan              maksimal masyarakat secara umum (Maulia, 2024).
 b)  Mendorong Pembangunan Berkelanjutan (SDGs.5)
       Dengan adanya keterwakilan perempuan dalam DPRD ini diharapkan dapat mencapai pembangunan ekonomi yang inklusif. Hal ini            berpengaruh pada meningkatnya daya saing dan partisipasi dalam hal ekonomi yang berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi.              Perempuan akan mendapatkan kesempatan dan hak yang sama sehingga akan terjadi pemerataan manfaat dan meningkatnya                      pekerjaan bagi perempuan, peningkatan pekerjaan ini akan akan penghasilan pendapatan untuk hidup. Hal ini berkontribusi                        langsung terkait dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (Faturachman Alputra Sudirman, 2022).
 c)  Mendorong Perdamaian Global
       Beberapa penelitian menunjukkan bahwa negosiasi yang melibatkan perempuan akan lebih efektif dan mencapai tingkat                                keberhasilan yang lebih tinggi dalam mencapai kesepakatan. Hal ini karena perempuan memiliki perspektif yang berbeda  sehingg            cakupan permasalahan yang di bahas akan semakin kompleks. Hannah Wright, Peneliti Senior pada Inisiatif Kesetaraan Gender dan          Konflik, Universitas Harvard: menyoroti bahwa "kesetaraan gender bukan hanya tentang partisipasi perempuan, tetapi juga tentang        memasukkan perspektif gender dalam analisis konflik". Di sisi lain Jacqui True, Profesor Studi Perdamaian  dan Konflik, Universitas          Monash: menyoroti bahwa keterlibatan perempuan dalam negosiasi perdamaian adalah langkah penting  menuju perdamaian yang          berkelanjutan. Ia menggarisbawahi bahwa perempuan tidak hanya korban konflik, tetapi juga aktor  penting dalam menciptakan                perdamaian. Menurut True, "Perempuan dapat membawa perubahan positif dalam dinamika konflik dan mempromosikan solusi                yang lebih berkelanjutan". Dengan adanya partisipasi perempuan tidak hanya tentang prinsip moral saja, akan tetapi sebagai faktor          pendukung dalam mencapai perdamaian yang inklusif, adil dan berkelanjutan (Muhammad  Firman, 2023).


4. Dampak Jika Tidak Terpenuhinya Kuota Keterwakilan Perempuan dalam DPR/DPRD
      Tidak terpenuhinya kuota keterwakilan perempuan dalam politik terutama dalam DPR/DPR akan membawa beberapa dampak yang    negative (Anistya, 2022) yaitu:
 a) Kemungkinan besar kebijakan yang dibuat tidak bersifat kompleks dan menyeluruh, karena keterlibatan perempuan yang minim  didalamnya. Sehingga hasil keputusan tidak serta merta mengikutsertakan persfektif dari berbagai sisi, pada akhirnya keputusan  tersebut berpotensi memberi kerugian pada perempuan.
 b) Terjadinya ketidakbebasan berpendapat, dimana para perempuan memiliki keterbatasan dalam menyuarakan hak-hak dan    pendapatnya. Sehingga ini menjadi hal yang tidak adil bagi perempuan.
 c) Munculnya diskriminasi yang yang mengakibatkan ketidaksetaraan gender pada dunia politik.


5. Hambatan-hambatan Keberadaan perempuan dalam Keikutsertaan di DPR/DPRD
          Partisipasi perempuan dalam dunia politik masih dikatakan belum memenuhi target, karena perempuan masih termarginalisasi            secara politik, ekonomi dan sosial. Saat ini angka keterwakilan perempuan sudah banyak mengalami peningkatan dalam dunia                    politik, akan tetapi belum secara signifikan karena masih terhambat oleh beberapa faktor, diantaranya:
a) Tantangan sosial budaya
     Budaya patriarki yang dominan mengonstruksikan pandangan bahwa perempuan lebih tepat berperan dalam wilayah domestik,                 mengurus rumah tangga, dan mengasuh anak, sementara domain publik seperti politik dianggap sebagai wilayah eksklusif laki-laki.       Perempuan yang aktif dalam politik kerap menghadapi penilaian ganda, di mana mereka harus secara konstan membuktikan                       kompetensi politiknya sambil tetap mempertahankan citra "ideal" perempuan dalam konstruksi sosial-budaya yang ada. Mereka               tidak hanya dituntut untuk membuktikan kompetensi politik, tetapi juga harus mempertahankan citra sebagai ibu dan istri yang baik.     Beban ganda ini menciptakan tekanan psikologis dan sosial yang signifikan, yang tidak dialami oleh politisi laki-laki. Stereotip gender     yang mengakar dalam masyarakat sering memunculkan keraguan terhadap kapabilitas perempuan dalam politik. Pandangan                       tradisional yang menempatkan perempuan pada peran domestik masih menjadi hambatan signifikan.

b) Tantangan Personal
 Tantangan personal yang dihadapi perempuan dalam dunia politik mencakup berbagai aspek yang saling berkaitan. Banyak calon          legislatif perempuan memiliki keterbatasan dalam hal; Pengalaman organisasi politik, jaringan politik, kemampuan public speaking,   pemahaman tentang proses legislasi. Keterbatasan pengalaman berorganisasi menjadi hambatan mendasar bagi banyak calon legislatif perempuan, yang berdampak pada kurangnya kepercayaan diri dalam mengambil keputusan dan memimpin. 68% anggota legislatif perempuan mengalami kesulitan dalam mengelola waktu antara tugas legislatif dan tanggung jawab domestik, terutama  dalam menghadiri rapat-rapat malam hari. situasi ini sering menimbulkan rasa bersalah dan stres emosional yang dapat  mempengaruhi kinerja politik mereka. Aspek psikologis, khususnya impostor syndrome, menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan dalam politik. banyak legislator perempuan mengalami perasaan tidak layak atau tidak kompeten meskipun memiliki prestasi nyata. Keterbatasan kemampuan public speaking dan pemahaman proses legislasi juga menjadi kendala personal yang signifikan. banyak perempuan merasa kurang percaya diri dalam menyampaikan pendapat di forum-forum publik dan mengalami kesulitan dalam memahami kompleksitas proses legislasi. Hal ini sering membuat mereka enggan untuk berpartisipasi aktif dalam perdebatan politik dan proses pengambilan keputusan (puskapol UI, 2023).
  c) Tantangan Ekonomi
     Aspek ekonomi menjadi salah satu kendala krusial yang secara signifikan membatasi keterlibatan perempuan dalam ranah politik          Indonesia. Para calon legislatif perempuan kerap menghadapi hambatan dalam mengakses sumber daya finansial yang dibutuhkan untuk mendukung aktivitas politik mereka, termasuk pembiayaan kampanye dan kegiatan politik lainnya. Studi yang dilakukan Kartika (2023) menunjukkan fakta bahwa 65% kandidat legislatif perempuan mengalami kesulitan serius dalam pemenuhan kebutuhan dana kampanye, terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap jaringan donatur potensial dan sumber- sumber pendanaan politik yang ada. Tantangan ekonomi yang dihadapi tidak hanya sebatas pada pembiayaan kampanye politik, tetapi juga meliputi berbagai biaya operasional yang diperlukan dalam menjalankan peran sebagai politisi secara profesional. Penelitian Soetjipto (2021) mengungkapkan bahwa 72% perempuan yang menjabat sebagai legislator mengalami kendala signifikan dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan staf pendukung, transportasi, dan berbagai keperluan operasional lain yang esensial untuk menjalankan fungsi politik mereka secara optimal.
 d) Stereotip dan Norma Sosial
      Stereotip gender dan norma sosial yang kuat dapat menghambat partisipasi perempuan dalam negosiasi perdamaian. Misalnya,                   perempuan sering kali dianggap sebagai pihak yang lebih lemah atau kurang berpengalaman dalam politik dan keamanan sehingga sulit bagi mereka untuk diterima dalam peran penting dalam perundingan (Muhammad Firman, 2023).
 e) Ketidaksetaraan Akses terhadap Sumber Daya dan Pendidikan
      Di banyak negara, perempuan masih menghadapi ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya dan pendidikan yang dapat                        mempersiapkan mereka untuk peran politik dan perdamaian. Ini termasuk akses yang terbatas ke pendidikan tinggi, pelatihan politik, dan sumber daya yang mendukung partisipasi politik (Muhammad Firman, 2023).
f) Ancaman Kekerasan dan Diskriminasi Gender
     Perempuan yang berusaha untuk terlibat dalam perdamaian sering kali menghadapi ancaman kekerasan dan diskriminasi gender.             Mereka dapat menjadi target intimidasi dan kekerasan fisik, yang membuat mereka enggan untuk berpartisipasi secara aktif dalam           proses perdamaian (Muhammad Firman, 2023).
g) Kurangnya Representasi dalam Proses Keputusan
Perempuan seringkali kurang direpresentasikan dalam lembaga-lembaga yang memiliki peran dalam proses perdamaian, seperti               parlemen atau pemerintahan. Kurangnya representasi ini mengakibatkan rendahnya akses perempuan terhadap proses pembuatan           keputusan politik yang berkaitan dengan perdamaian (Muhammad Firman, 2023).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun