Mohon tunggu...
Anita Maharani
Anita Maharani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Dosen, trainer, mendalami Bisnis Milik Keluarga baik sebagai praktisi maupun akademisi. @anitamaharani

Selanjutnya

Tutup

Money

Menjadikan Gaji (Bukan) Segala-Galanya

8 Desember 2013   08:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:11 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gaji tidak selalu menjadi segalanya. Padahal, kita ketahui bersama bahwa gaji adalah hak yang wajib diterima setiap orang menjelang akhir bulan. Mendengar kata gaji, yang pertama terlintas dalam benak kita sudah pasti adalah uang. Uang yang diterima dari perusahaan sebagai imbal jasa atas apa yang kita kerjakan selama sebulan, dan pasti dinanti-nantikan setiap orang seandainya sudah mendekati waktu terima gaji.

Seringkali gaji dijadikan alasan bagi sebagian orang sebagai panduan untuk menghidupi dirinya. Gambarannya seperti ini, masihkah ingat ketika kita berada pada posisi pelamar kerja? pada saat itu kita berpakaian rapih dan sudah menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan untuk menemui pemberi kerja. Tentunya proses pertemuan antara kita sebagai pelamar dengan pemberi kerja atau perusahaan yang diwakili oleh manajemen sudah melalui penilaian awal, yakni adanya proses seleksi setelah iklan lowongan kerja atau rekrutmen diumumkan. Masih ingatkah ketika kita mengikuti proses wawancara tersebut?, meskipun tidak selalu, kadangkala pemberi kerja akan memberikan pertanyaan akhirnya pada kita, kira-kira bunyinya seperti ini “ini merupakan pertanyaan terakhir, gaji yang mas/mba harapkan berapa?”. Pertanyaan ini seakan-akan seperti kilat di siang hari, karena bagi setiap pelamar, pertanyaan ini sebenarnya adalah pertanyaan yang menjebak.  Menentukan angka gaji yang terlalu tinggi, bisa jadi pemberi kerja tidak tertarik untuk mempekerjakan kita, tapi menentukan angka gaji yang terlalu rendah kadangkala menjadi buah simalakama bagi kelangsungan hidup kita sebagai pelamar kerja.

Katakanlah kita sebagai seorang pelamar kerja akhirnya diterima karena dari hasil negosiasi gaji mengesankan si pemberi kerja. Proses selanjutnya biasanya adalah penandatanganan kontrak kerja antara kita sebagai pekerja dan salah satu pihak di perusahaan yang bertugas menandatangani. Surat kontrak ini kemudian yang menjadi pegangan baik bagi pekerja maupun pemberi kerja. Kemudian, bekerjalah kita di perusahaan tersebut dan mengikuti sistem yang ditetapkan dalam perusahaan dari hari ke hari.

Hari demi hari kehidupan seorang pekerja dilalui, dan dalam perjalanan hidup seorang pekerja tersebut banyak hal yang dialaminya, diantaranya adalah mengenai pengelolaan gaji yang diterimanya di akhir bulan. Lazimnya (meskipun tidak selalu) para pekerja baru akan sedikit euphoria (perasaan yang berlebihan atas sesuatu-red) atas gaji yang diterimanya. Ditraktinya seluruh orang-orang yang dianggapknya berjasa dalam kehidupannya, atau dibelikannya barang-barang idaman yang sebelum memiliki gaji sendiri seakan tidak mungkin dimiliki. Demikianlah gambaran situasi mengenai pekerja di awal-awal karirnya, kemudian dalam prosesnya sebagai seorang pekerja, seakan-akan euphoria itu menjadi luntur. Gaji yang diterimanya di akhir bulan seakan bukan lagi menjadi kabar baik, apalagi “mengenyangkan”. Hari pertama datangnya gaji beserta slipnya adalah kabar baik, hari berikutnya diisi dengan kisah sedih, karena angka dari gaji yang diterima semakin berkurang, dompet semakin menipis dan tiba-tiba standar kehidupan menjadi tidak beraturan karena kemampuan yang berkurang. Efek buruk dari “perasaan ketidakcukupan” gaji adalah turunnya rasa kepuasan kerja dan produktivitas kerja seseorang.

Sebenarnya, mengapa seorang pekerja bisa menganggap bahwa gaji memberikan pengaruh dalam kehidupannya? Hal ini disebabkan karena pekerja menganggap gaji adalah segala-galanya. Padahal sebenarnya bukan gaji yang salah melainkan “cara mengelola gaji”. Pada saat kita pertama kali bekerja, dan menerima gaji untuk pertama kalinya, kehidupan kita penuh berkecukupan. Kemudian, bulan-bulan berikutnya kita mulai tergiur oleh beberapa tawaran fantastis yang “katanya” bisa membuat hidup kita lebih baik, diantaranya: kredit kendaraan bermotor, kredit rumah, dan kartu kredit. Kredit-kredit ini salah? tentu saja tidak, yang salah adalah kita yang tidak mampu mengukur antara kemampuan keuangan dengan indikator gaji yang diterima dan pengeluaran yang harus dikelola selama sebulan. Sehingga, tidak heran seandainya kehidupan seakan “cekak” pada bulan-bulan berikutnya dari saat pertama menerima gaji. Kredit-kredit yang disebut sebelumnya tentunya setelah dari pengeluaran rutin yang dikeluarkan oleh seseorang, diantaranya perihal konsumsi dan aktivitas hiburan (menonton bioskop, berekreasi dan sebagainya).

Alih-alih memiliki pekerjaan yang sesuai dengan keinginan, lambat laun kita mulai mempertanyakan “tepatkan pekerjaan ini untuk kita”. Kemudian, pencarian solusi pun dimulai, dari mencari pekerjaan sampingan seperti menjadi reseller produk atau jasa, atau berusaha mencari pekerjaan baru yang menurut kita mampu memberikan tambahan gaji yang seharusnya diperoleh. Kita kemudian melupakan, bahwa dalam hidup bekerja tidak mutlak berbicara mengenai gaji, namun ada hal-hal lainnya yang penting. Bahasan selanjutnya akan mengenai hal lain selain gaji yang dapat menggugah perasaan kita mengenai puas dan tidak puas.

Dalam bekerja, sebenarnya ada beberapa faktor penting yang menunjang tercapainya kepuasan kerja. Diantaranya adalah mengenai gaji dan lingkungan kerja, atau dapat disingkat materi dan non materi, kasus-kasus mengenai kepuasan kerja selalu diangkat dalam penelitian di kajian ilmu Manajemen terutama Manajemen Sumber Daya Manusia, namun meskipun sering diangkat dan peneliti sudah mulai jenuh mengangkat tema ini, namun dalam kenyataannya cerita mengenai kepuasan kerja adalah “kisah yang tidak pernah selesai”, dan meskipun hasil studi bahwa gaji bukan segala-galanya seakan mustahil diaplikasikan dalam kehidupan bekerja, namun masih ada optimisme untuk mendorong diri kita untuk “menghipnotis” diri agar memiliki anggapan gaji bukan segala-galanya.

Berikut ini adalah salah satu cara yang mungkin dapat ditempuh dalam rangka menciptakan persepsi bahwa ada hal lain yang dapat ditempuh selain berpikir “gaji kita kurang”. Cara yang bisa kita tempuh adalah, membayangkan diri kita saat ini seakan-akan seperti kita di masa pertama kali melakukan proses melamar pekerjaan. Saat itu idealisme kita muncul sebagai bagian dari semangat untuk dapat berdikari dan mencari rejeki sendiri, sekaligus sebagai bentuk penghargaan kepada orang tua atau siapapun yang telah membiayai kehidupan kita. Pada saat itu, tujuan kita hanya satu yakni berusaha meyakinkan manajemen perusahaan bahwa kinerja kita baik dan kita berhak mendapatkan penghargaan, dalam bentuk gaji dan bonus tambahannya, di akhir bulan. Segala keputusan yang kita ambil dalam kehidupan kita sebenarnya adalah keputusan sendiri dan risiko yang harus dapat diterima oleh kita. Tetapi, kita pasti merasa beruntung bahwa lingkungan kerja kita telah menjadi bagian dari kehidupan kita, bahkan telah menjadi keluarga yang selalu memberi dukungan dalam bentuk apapun, bahkan cercaan atau pendapat miring adalah bentuk dukungan sehingga kita menjadi lebih semangat dalam bekerja.

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun