Beberapa hari belakangan, nama Sjamsul Nursalim (SN) kembali mencuat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan SN dan isterinya sebagai tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan kerugian negara mencapai Rp 4,58 triliun.
Sjamsul Nursalim dan istri disangkakan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
KPK mengaku sudah menyelidiki keduanya sejak Agustus 2013. KPK mengatakan telah mengirim surat untuk penyidikan lebih lanjut, tapi keduanya tidak pernah datang untuk memenuhi panggilan KPK.
Lantas, mengapa SN dan isterinya tidak pernah datang untuk diperiksa KPK?
Mari kita melongok kembali kronologi kasus ini. Kasus BLBI sebenarnya sudah selesai di tahun 1999, ketika SN dan Pemerintah menandatangani Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan terbitnya Surat Release and Discharge (R&D) dari Pemerintah.
Berdasarkan MSAA, kedua pihak sepakat bahwa SN akan menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada Pemerintah Republik Indonesia sejumlah Rp 28,4 Triliun dengan uang tunai dan aset-aset berupa saham perusahaan-perusahan milik SN.
MSAA ini sudah closing di tanggal 25 Mei 1999, yang berarti kedua belah pihak telah mengetahui, mengakui, dan setuju atas pemenuhan seluruh hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Setelah SN menepati seluruh kewajibannya sebagaimana yang tertuang di MSAA, maka Pemerintah dan Menteri Keuangan Republik Indonesia pun menepati janji dengan menerbitkan Surat Release and Discharge kepada SN pada tanggal 25 Mei 1999. Lalu di tanggal yang sama, Pemerintah menegaskan kembali surat ini dalam bentuk Akta Letter of Statement No. 48 yang dibuat di hadapan notaris Merryana Suryana, SH di Jakarta.
Pada 26 April 2004, Pemerintah menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada SN sebagai penegasan bahwa SN telah memenuhi seluruh kewajibannya. Setelah terbitnya SKL, Kejaksaan Agung kemudian mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP-3) terhadap SN.
Rangkaian MSAA, R&D, SKL, hingga SP-3 yang diterima SN ini menunjukkan kasus ini sudah selesai secara hukum. Mantan Ketua Mahkamah Konsitusi Prof. Mahfud MD menilai pengungkapan kasus BLBI yang telah berkekuatan hukum tetap, bertentangan dengan jaminan kepastian hukum bagi setiap warga negara Indonesia.
Menurutnya, di dalam hukum ada tiga prinsip yang mesti dijadikan pijakan yakni, kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Pada prinsipnya, sesuatu yang sudah dibuat secara sah menurut hukum, maka tidak bisa dibatalkan.
Selain itu, setiap produk hukum yang dikeluarkan atas nama negara, negara wajib memberikan jaminan kepastian hukum kepada para penerimanya tersebut.