Mohon tunggu...
anita kusumawardani
anita kusumawardani Mohon Tunggu... Administrasi - Fungsional Statistisi Pertama di BPS Provinsi Jawa Barat.

Fungsional Statistisi Pertama di BPS Provinsi Jawa Barat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dilema Pemuda: Bertani vs Berdasi

22 Mei 2019   13:37 Diperbarui: 22 Mei 2019   13:58 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sektor penting dalam kehidupan bangsa Indonesia salah satunya adalah pertanian. Peran startegisnya tidak dapat tergantikan oleh sektor manapun. Sebagai penyedia pangan bagi penduduk Indonesia, produk hasil bumi tentu menjadi komoditi yang vital dan sangat dibutuhkan dari masa ke masa. Berdasarkan data BPS, Sektor pertanian memberikan kotribusi sebesar 12,81 persen terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) nasional di tahun 2018 dengan nilai tambah yang dihasilkan mencapai Rp. 1.417 triliun. Kondisi tersebut semakin menggambarkan betapa signifikan peran pertanian dalam perekonomian Indonesia.

Dewasa ini, pertanian Indonesia sedang mengalami tantangan yang serius. Kualitas agroekosistem yang semakin menurun, produk impor yang semakin melimpah kian menggeser produk lokal, dan tentunya jumlah petani yang sedikit. Data hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) Tahun 2018 yang dikumpulkan BPS menyebutkan bahwa jumlah petani Indonesia kini adalah 33.487.806, terdiri dari 25.436.478 petani laki-laki dan 8.051.328 petani perempuan. Hanya sekitar 12,6 persen dari seluruh penduduk Indonesia yang menurut proyeksi penduduk tahun 2018 mencapai angka 264 juta jiwa.

Keberlanjutan pertanian akan sangat dipengaruhi oleh sumber daya manusia pertanian. Sangat disayangkan, jumlah petani yang sedikit masih dimotori oleh generasi tua. Tak bisa dipungkiri usia petani akan mempengaruhi aktivitas bertani, yaitu kondisi fisik dan kemampuan berpikir. Makin muda umur petani, cenderung memiliki fisik yang kuat mampu bekerja lebih kuat dan tentu memiliki keberanian untuk menanggung resiko dalam mencoba inovasi baru demi kemajuan usahataninya. Sehingga pekerjaan rumah bagi bangsa kita adalah bagaimana menggerakan pemuda Indonesia untuk menjadi petani-petani yang dapat meningkatkan produktivitas pangan sehingga akan mencapai titik swasembada pangan yang hakiki.

Namun hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya paradigma bahwa bertani adalah pekerjaan tradisional yang kurang bergengsi dan hasilnya disamping tidak segera dapat dinikmati juga jumlahnya relatif tak memadai untuk memenuhi gaya hidup masa kini. Betapa miris nya kita menyaksikan bahwa banyak sarjana pertanian yang lebih memilih bekerja di bank maupun sektor lain hanya karena upah yang lebih menjanjikan. Berdasi tentu lebih menggiurkan dibandingkan Bertani.

Kurangnya dukungan para orang tua baik secara mental maupun material terhadap anak-anak muda untuk menjadi petani, juga menjadi penyebab pemuda tak tertarik menjadi petani. Orang tua acapkali mengendorkan semangat anak-anak muda yang ingin menjadi petani. Umumnya orang tua akan lebih bangga jika anak-anaknya menjadi dokter, birokrat, pilot dan profesi lainnya yang dianggap lebih prestisius. Dengan kondisi seperti ini tentu diperlukan upaya lebih dari berbagai pihak untuk menhilangkan stigma negatif terhadap profesi petani.

Tercatat ada empat program kegiatan yang dilakukan oleh Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian dalam mendorong regenerasi petani, yaitu program pendampingan Mahasiswa dalam Upaya Khusus peningkatan produksi di sentra produksi pangan yaitu “PAJALE” (komoditas padi, jagung, dan kedelai) serta 7 (tujuh) komoditas unggulan: padi, jagung, kedelai, bawang merah, daging, tebu, dan aneka cabe, dan selanjutnya program SIWAB (Sapi Indukan Wajib Bunting). Program kedua, penumbuhan Wirausaha Muda Pertanian (PWMP). Ketiga, pengembangan SMKPP dan transformasi STPP menjadi Politeknik Pembangunan Pertanian. Dan keempat, Balai Pelaksana Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan (BP3K) atau Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) di tingkat kecamatan sebagai simpul kegiatan penyuluhan pertanian harus dapat turut serta menggalakan generasi muda perdesaan terjun di dunia pertanian. 

Keempat program yang ada tentu memiliki tujuan yang baik dalam menggembleng upaya regenerasi petani,namun saya kira ada enam hal yang perlu lebih ditingkatkan. Pertama, mulai membangun dan membagi wilayah di Indonesia berdasarkan potensi wilayah terutama potensi pertanian. Wilayah mana saja yang berpotensi untuk tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, perikanan, dan sebagainya diatur secara jelas sehingga tidak dapat diganggu gugat dan dijadikan lahan lain selain sektor tersebut. 

Sebut saja jika kontur tanah di wilayah tersebut cocok untuk dijadikan wilayah tanaman pangan, maka tidak boleh dibrikan ijin untuk membangun sektor industri di sekitarnya yang akan menggangu sektor tanaman pangan. Dengan kekuatan hukum yang jelas, maka tentunya pembangunan di Indonesia tidak hanya merata tetapi adil sesuai potensi wilayahnya. Kegiatan Upaya Khusus baiknya menitikberatkan potensi wilayah, jadi memungkinan tiap wilayah berbeda komoditinya. Bukan hanya fokus pada penambahan cetak lahan dan luas panen namun pada peningkatan produktivitas dan hasil produksi.

Kedua, pemerintah mengatur tata niaga. Apa yang ditanam petani disesuaikan dengan minat dan kebutuhan pasar. Pemberian bantuan bibit harus fokus pada output produk dengan kualitas yang baik, bukan hanya semata formalitas realisasi program saja. Sering terjadi keluhan petani yang menggunakan bibit bantuan pemerintah yang hasilnya dibawah standar sehingga merugikan petani. Berikan petani bibit yang baik sehingga hasil bumi dapat maksimal terjait.

Ketiga, kontrol pasar. Yang terjadi adalah maraknya tengkulak yang dengan mudahnya menjatuhkan harga tanpa memperhatikan situasi di pasaraan. Hasil pertanian dibeli oleh pemerintah sehingga pemerintah bisa mengendalikan harga yang layak, dan jikalau pihak swasta membeli makan harga yang diberikan adalah di atas harga pemerintah.Oprasi pasar harus dijadikan kegiatan rutin untuk memastikan harga terkendali, sekaligus digunakan sebagai informasi awal komiditi yang potensi untuk dikembangkan sesuai minat konsumen. Lalu bagaimana dengan petani yang berhutang pada tengkulak sehingga tidak bisa menghindari transaksi dengan tengkulak.

Maka solusi keempat adalah penyediaan dana pinjaman dan fasilitas sarana produksi termasuk transportasi. Perlu dikembangkan kembali program koperasi ataupu asosiasi khusus di bawah naungan pemerintah yang memberikan layanan modal dan juga sarana pertanian serta fasilitas lainnya untuk memudahkan petani memulai usahanya. Dengan semakin mudahnya beraktifitas di sektor pertanian makan minat anak muda akan mulai tumbuh. Layanan ini harus bisa tembuh ke pelosok desa dimana wilayah tersebut merupakan potensi pertanian. Program Wirausaha Muda Pertanian (PWMP) dan adanya Balai Pelaksana Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan (BP3K) atau Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) harus semakin digaungkan untuk memompa dan memikat pemuda untuk mulai Bertani. Tentunya tenaga penyuluh harus dibekali pendidikan yang tinggi tentang pertanian sehingga bisa menularkan ilmunya membangun generasi petani di desa.

Kelima, Teknologi. Pengembangan SMKPP dan transformasi STPP menjadi Politeknik Pembangunan Pertanian rasanya belum menjadi solusi yang tepat sasaran untuk menyasar pemuda di pelosok. Tapi bagaimana pendidikan pertanian dasar diberikan kepada generasi muda di setiap level. Misalnya dengan mensosialisasikan aplikasi-aplikasi android yang dapat membantu pemesanan benih, pupuk, sarana pertanian, pemasaran produk, menjelaskan tata cara bertani suatu komoditi, atau hanya sekedar bertanya bagaimana bercocok tanam yang baik untuk mulai melakukan budidaya pertanian. 

Hal-hal yang dekat dengan budaya kaula muda perlu lebih diperhatikan untuk lebih mendekatkan dunia pertanian kepada kehidupan mereka sehari-hari. Kemudian pengadaan teknologi alat-alat pertanian pun perlu lebih diperhatikan oleh pemerintah. Di negara lain untuk menanam, menyirami, hingga memanen, petani  telah dibantu dengan mesin. Jika di Indonesia membajak sawah masih menggunakan bajak tunggal, maka tentu ini merupakan hal yang sangat tidak efektif dan efisien dimana zaman ini waktu merupakan kekayaan yang berharga. 

Dan terakhir adalah apresiasi pada para petani. Membuat keluarga petani sejahtera itu adalah kunci utama menghapus stigma jadi petani berarti miskin. Perlu dibuat suatu akses dan kepemilikan lahan kepada keluarga petani, mempermudah petani mendapat lahan garapan baik menjadi milik sendiri atau hanya sekedar hak guna pakai. Tunjangan petani pun perlu diupayakan dimana negara benar-benar menjamin jerih payah petani tidak akan sia-sia ketika harga tidak stabil. Karena sejatinya kerugian petani adalah kerugian negara. 

Dengan begini para orang tua tidak akan menghalanngi cita-cita anaknya yang ingin jadi petani. Pemuda pun akan memiliki pemikiran baru. Karena bertani tak hina, bertani sama pentingnya dengan berdasi. Bahkan dengan bertani kedaulatan pangan tercapai,kesejahteraan rakyat semakin di depan. Hilangkan dilema permuda antara bertani dan berdasi. Benahi sekarang juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun