Sidang hanya berlangsung sebentar. Pembacaan vonis. Majelis hakim ternyata memvonis bebas terdakwa penganiaya bapakku. Satu point yang kuingat, kata ketua majelis hakim, tidak ada saksi yang melihat bapakku dianiaya terdakwa.
Setelah selesai sidang, majelis hakim, panitera, jaksa, dan terdakwa bergegas meninggalkan ruangan sidang.
Aku dan ibu seperti orang linglung. Sebagai orang awam, kami baru tahu bahwa seperti itu sidang membacakan putusan hakim.
Sekitar sepuluh menit kami berdua terdiam di ruangan sidang itu. "Jadi, orang itu bebas?" tanya ibu seperti baru tersadar. Aku mengganggukkan kepala. Air mata mulai menitik di pipiku. Kulihat ibu juga mulai menangis.
Kami baru sadar, persidangan di pengadilan sudah usai dengan putusan yang menambah luka hati kami, di atas luka lama yang belum sembuh.
Dengan gontai, kami keluar dari ruangan sidang. Tak ada siapa-pun lagi. Para wartawan yang meliput sidang dari jendela tadi, juga sudah menghilang entah ke mana. Mungkinkah benar yang dikatakan Bang Syahrul, para  wartawan di pengadilan juga diancam terdakwa? Entahlah. Waktu itu aku masih  tak mengerti apa pun tentang dunia peradilan, dan juga dunia kewartawanan.
Saat aku dan ibu hendak meninggalkan gedung pengadilan--di tepi jalan sambil menunggu beca, dua orang anak muda mendatangi kami.
"Kami dari LBH Medan, Bu. Apakah Ibu mau kami bela?" tanya salah seorang di antaranya.
"Tidak, terima kasih," kata ibu singkat. Aku terkejut. Kenapa ibu menolak mereka?
Di dalam beca yang membawa kami pulang, kutanya ibu kenapa menolak anak muda dari LBH Medan itu. "Kita tidak punya uang untuk membayar mereka," jawab ibu.
Aku mengangguk paham. Benar juga, dari mana kami bisa membayar pengacara. (Namun belasan tahun kemudian--saat aku jadi wartawan di Medan baru aku  tahu kalau LBH Medan adalah lembaga bantuan hukum yang memang membantu masyarakat kecil mendapatkan keadilan, dan aku sering meliput berita dari LBH Medan).